Kembali ke Vihara Kwan Im

Dari atas sini cakrawala dibelah garis lurus berwarna biru terang. Ada laut di sebelah sana yang menghadap langsung ke Selat Karimata, sementara saya berdiri di atas sebuah teras batu Vihara Dewi Kwan Im di Belitung Timur. Inilah vihara tertua dan terbesar yang ada di Pulau Belitung, usianya telah nyaris tiga abad dan semakin hari semakin sohor sebagai tempat beribadah maupun singgahan wisata.

Menjelang abad ke-17, Pulau Belitung merupakan rute perdagangan yang ramai, terutama dari Tiongkok dan Arab. Tidak mengherankan apabila di papar timur pulau ini pada kemudian hari banyak ditemukan sisa-sisa tembikar dari Dinasti Ming. Salah satu ekspedisi paling terkenal dari Dinasti Ming terjadi pada era Majapahit tatkala armada Shi Pi dan Khau Sing mendarat di Pulau Belitung untuk menjalin hubungan dagang.

Belanda masuk ke tanah ini pada penghujung pemerintahan Dinasti Ming. Pada waktu yang kurang lebih sama, para perantau dari Tiongkok membangun vihara ini di sebuah bukit yang terletak tidak jauh dari Pantai Burung Mandi. Konon menurut keyakinan masyarakat di sini, Dewi Kwan Im pernah terlihat khusyuk bersembahyang di atas sebuah batu di atas bukit ini pada tahun 1747.

“Sembahyang di situ?” tanya seorang encik ketika melihat saya asyik menapaki anak-anak tangga yang menuju ke altar utama vihara ini. Saya membalasnya dengan tersenyum dan menggeleng.

Total terdapat 86 anak tangga. Saya berhitung. Di bagian atas vihara ini terdapat beberapa tempat sembahyang yang masing-masing dinamai Kon Im, Sitiyamuni, dan Shimunyo. Kon Im jelas merupakan referensi pada Dewi Kwan Im, sedangkan dua sisanya saya kurang paham mereferensikan kepada sosok siapa.

Pada hari biasa seperti ini vihara relatif senyap. Namun pada akhir pekan, ia dipenuhi oleh orang-orang yang berkunjung ke Belitung Timur, menjadi satu paket bersama dengan Pantai Burung Mandi. Bersamaan dengan influks pelancong yang semakin tahun semakin meningkat, sebuah patung Dewi Kwan Im dengan ukuran besar dibangun di pelataran belakang vihara ini.

“Dulu saya ke sini sepuluh tahun lalu, kondisi masih sepi,” terang saya kepada Vanny yang menemani saya sore itu, “Dulu ke sini malam-malam, jalan raya masih rusak, dan keadaan hutan di luar sana begitu gelap. Sekarang tempat ini begitu berubah, nyaris tidak saya kenali lagi.”