Menapak Tilas Cina Benteng

Menurut observasi sejumlah sejarawan, Tangerang berasal dari kata kolot ‘tengger’ dan ‘perang’. Tengger dalam Bahasa Sunda mempunyai makna tanda. Dinamakan demikian karena daerah ini dulunya merupakan kawasan perbatasan kekuasaan Belanda dan Banten yang mana kerap menjadi medan perang antar keduanya.

Barulah pada abad ke-17, Belanda membangun sebuah benteng pertahanan di ambang sungai yang lambat laun berhasil meredam serbuan-serbuan militer dari Kesultanan Banten. Itulah mengapa masyarakat Tionghoa yang memang banyak bermukim di sepanjang aliran Sungai Cisadane ini pada kemudian hari dikenal dengan sebutan Cina Benteng, merujuk pada keberadaan benteng pertahanan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda tersebut.

Di sepanjang papar Sungai Cisadane inilah terdapat perkampungan berusia ratusan tahun yang hingga saat ini masih dipadati oleh etnis Tionghoa. Salah satunya adalah kawasan Pasar Lama ini yang mana beberapa rumah tuanya sudah mulai tergantikan oleh bangunan-bangunan anyar yang sepanjang hari terhalang oleh kedai-kedai makanan dan kios-kios pedagang buah.

Dari antara sekian banyak rumah-rumah renta yang hampir ambruk, ada satu yang direstorasi besar-besaran dan kini digunakan sebagai Museum Benteng Heritage. Dalam museum inilah kita bisa menapaktilas kehidupan masyarakat Tionghoa gelombang pertama yang tembus dari daratan Tiongkok ke nusantara. Masuknya orang Tionghoa ke Tangerang bersamaan dengan armada Laksamana Cheng-Ho mengawali influks orang Tionghoa ke tanah ini pada abad ke-15.

Asimilasi budaya antara masyarakat Tionghoa dan Betawi boleh dibilang cepat. Dalam waktu kurang dari satu abad, kebauran budaya keduanya terlihat di mana-mana. Salah satunya dari tata cara pernikahan Cina Benteng yang seperti campuran antara adat Tionghoa dan Betawi yang diiringi warna musik Gambang Kromong serba rancak menyiratkan kuatnya akulturasi dua budaya besar ini.

“Salah satu hadiah pernikahan yang sering diberikan anggota keluarga kepada mempelai,” terang sang pemandu kami siang itu sembari menarik sebuah tempolong logam dari kolong ranjang, “Adalah pispot.”

Pada zaman dahulu, rumah-rumah tidak dilengkapi toilet. Untuk urusan buang hajat, masyarakat harus berjalan ke sungai yang berjarak sekitar lima puluh meter dari pemukiman ini. Adapun dalam situasi ‘darurat’, mereka menggunakan pispot ini untuk buang air. Terkadang pula pispot ini digunakan untuk menampung ludah.

Di balik runyam perkampungan yang riuh ini, saya belajar banyak hal. Budaya masyarakat Cina Benteng adalah salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang begitu warna-warni. Tentu saja ini pekerjaan bagi kita semua.