Braga Dulunya Jalan Culik

Panjangnya mungkin tidak lebih dari satu kilometer, namun kisah yang dijalaninya mungkin sama panjangnya dengan sejarah Kota Bandung sendiri. Tidak salah, nama Braga memang melegenda. Jalan ini pada mulanya dibangun untuk menjadi akses masuk ke pabrik gula milik Andries de Wilde yang kemudian betransformasi menjadi kantor walikota Kota Bandung.

Dikarenakan permukaan berlumpurnya hanya mampu dilalui oleh pedati, penduduk Bandung pada masa tersebut menyebutnya sebagai Karrenweg alias Jalan Pedati. Di lorongnya yang sempit dan diapit oleh barisan pohon-pohon besar inilah para pedati berseliweran pada siang hari untuk mengantarkan barang-barang dari dan ke pabrik gula. Pada malam hari jalan ini menjadi begitu sunyi dan minim pencahayaan, tak ubahnya sebuah pasase muram di bawah naungan dahan-dahan pohon besar.

Barangkali lantaran alasan itulah Karrenweg dikenal sebagai Jalan Culik. Entah benar atau hanya untuk menakut-nakuti anak-anak bengal, banyak rumor beredar bahwa orang-orang yang berjalan di sini pada malam hari akan diculik oleh penjahat. Legenda yang beredar adalah kepala anak-anak tersebut ditanam sebagai tumbal pembangunan gedung.

Semenjak dibangunnya Jalan Raya Pos pada tahun 1810, ujung Karrenweg bersimpangan dengan pusat perekonomian dan arus transportasi Trans Jawa. Kawasan ini menjadi ramai siang malam dan julukan Jalan Culik pun pudar dengan sendirinya, menyisakan sebuah jalan sempit yang uniknya menjadi arteri bagi perekonomian Bandung.

Lambat laun nama Karrenweg dirasa tidak lagi pantas, jalan tersebut kemudian menyandang nama yang baru, Bragaweg. Nama ini diambil dari perkumpulan kelompok seni Braga yang didirikan oleh Pieter Stijhoff pada penghujung abad ke-19.

Nama Braga bukan hanya milik Bandung, nun jauh di Portugal sana nama Braga menjadi nama sebuah kota. Relasinya entah saya kurang tahu. Tetapi yang jelas Braga menjadi semacam lintasan para meneer Belanda memamerkan kekayaan mereka di hadapan para bumiputera yang hidup serba kekurangan.

Kini Jalan Braga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Kota Bandung. Trotoarnya tertata apik dengan lampu-lampu jalan nan ikonik dan kursi-kursi taman di setiap sudutnya. Sementara di kanan kirinya bangunan-bangunan kuno Belanda bertahan melewati berbagai perubahan histori yang mendera Kota Bandung. Bahkan, bisa berjalan di trotoarnya pun terasa begitu bangga.