“Saya kira kalau naik Lion Air bakal baru mendarat jam sepuluh,” celetuk bapak tua sopir kami entah bercanda entah serius. Namun berkenaan dengan reputasi Lion Air selama ini, beliau memang tidak bisa disalahkan. Jadilah kami yang mendarat tepat waktu di Bengkulu ini dianggap oleh si sopir sebagai “mendarat duluan” yang entah sudah bergeser makna berapa jam.
“Saya tidak menyangka kalian mendarat duluan,” celetuknya sambil membawa mobil menembus gang-gang sempit di tepian Bengkulu. Saya tidak menjawab sementara Khairi hanya tertawa kecil. Saya lebih memilih untuk menerawang keluar jendela, memutar ulang memori persinggahan saya ke tanah ini delapan tahun silam.
Mobil itu penuh. Seluruhnya akan berangkat menuju ke Pagaralam. Delapan tahun silam, jalur ini merupakan rute tengkorak yang mana harus melintasi kawasan bajing loncat di Kabupaten Empat Lawang. Namun tiga tahun belakangan ini jumlah bajing loncat sudah banyak berkurang dan insiden tidak lagi terjadi sepanjang waktu. Apalagi kami berangkat siang hari.
Untuk menggapai Pagaralam kami butuh waktu tujuh jam, sebagian besar akan melewati liuk-liuk tanpa ampun Bukit Barisan Selatan. Dan perjalanan panjang pun dimulai dari Kabupaten Bengkulu Tengah.