Mobil kami lagi-lagi berhenti sesaat. Sopir turun dan mengangkut sejumlah paket ke dalam bagasi, kemudian kembali meluncur tanpa melempar sepatah kata. Dari gelagatnya, saya merasa bahwa bapak tua ini tidak ingin berlama-lama di tempat ini.
Agak janggal rasanya apabila mengingat Empat Lawang dikenal sebagai kawasan nan rawan perampok. Padahal sejatinya desa-desa di kabupaten belia ini dipenuhi rumah-rumah kayu tradisional yang memikat mata seorang pejalan seperti saya. Jari-jari saya pun lincah mengeluarkan telepon genggam dan mencari-cari tahu ihwal Empat Lawang dan, benarlah, topik-topik yang menghiasi beranda depan Google tentang kabupaten ini tidak jauh-jauh dari premanisme dan kriminalitas.
“Belum lama Empat Lawang menjadi kabupaten,” sambung Pak Sopir yang duduk tepat di kursi di depan saya, “Bahkan belum ada dsepuluh tahun saja setelah sebelumnya berada di bawah Kabupaten Lahat.”
Dari daerah asal saya di Jawa, Lawang bermakna pintu. Sudah barang tentu saya menduga bahwa nama Empat Lawang ini tidak jauh-jauh dari etimologi tersebut, namun ternyata saya keliru. Lawang berasal dari kata Lawangan yang bermakna “pendekar” lantaran di kawasan ini pada zaman dahulu pernah tenar karena menjadi tempat kediaman bagi empat orang pendekar penguasa daerah ini. Selama berabad-abad wilayah Empat Lawang memang berada di sisi Sumatera yang terisolasi sehingga tak acap dijangkau pemerintah sentral.
Pada era kolonial sejatinya Belanda pernah mengadakan survei untuk menimbang-nimbang apakah Kampung Tebing Tinggi di daerah ini cukup layak untuk dijadikan sebagai pusat pemerintahan Karesidenan Sumatera Selatan. Hal tersebut dikarenakan lokasi Tebing Tinggi berada di tengah-tengah pulau Sumatera yang memudahkan Belanda untuk menjangkau pantai barat dan pantai timur. Namun rencana tersebut tidak pernah direalisasikan.
Kini Empat Lawang menjadi salah satu region yang masih menyisakan rumah-rumah tradisional khas Sumatera Selatan. Dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain yang relatif sudah banyak terkikis oleh modernitas, Kabupaten Empat Lawang masih didominasi oleh kampung-kampung adat yang terserak di kanan kiri jalan raya provinsi.
Rumah-rumah kayu yang tersisa ini pun sedikit banyak sudah beralih fungsi. Hunian keluarga biasanya terletak pada lantai dua sementara pada lantai satu kebanyakan sudah dipergunakan sebagai warung, kios, atau garasi. Sepanjang perjalanan saya berusaha mengamati rumah-rumah klasik tersebut satu per satu. Sementara tidak jarang ekspresi-ekspresi datar membalas tatapan saya dari lantai dua rumah-rumah itu.