“Wah, tidak bisa,” celetuk bapak itu mencoba meyakinkan kami berdua, “Kalau mau lihat-lihat ke dalam harus daftar dulu laporan kunjungan beberapa minggu sebelumnya, pabrik ini tidak terbuka untuk umum.”
Khairi dan saya sore itu memang sengaja singgah di kantin karyawan pabrik teh. Tujuannya sederhana, untuk menggali informasi dan coba-coba berhadiah, barangkali ada yang berbaik hati untuk memberikan kami akses masuk ke dalam pabrik. Meskipun bukan merupakan tempat wisata, jeroan pabrik teh cukup membuat kami berdua penasaran hingga akhirnya kami terlibat dalam perbincangan intens dengan bapak uzur yang duduk di kantin karyawan ini.
Demikianlah niatan kami untuk menyinggahi Pabrik Teh PTPN VII Unit Pagaralam ini sebenarnya sudah kandas ketika bapak tersebut menerangkan bahwa pabrik ini tidak dibuka untuk umum. Namun memang dasar keras kepala, kami mencoba untuk menemui satpam secara langsung dan menanyakan ihwal akses masuk.
“Tidak bisa, Mbak,” kata satpam kepada Khairi yang menanyakan apakah kami bisa mendapatkan kesempatan berkunjung, “Kalau ada bapak pimpinan, saya bisa mintakan izin. Tetapi bapak sedang tidak ada di tempat.”
Dan entah kapan bapak pimpinan kembali ke sini. Yang jelas perjalanan terjauh kami hanyalah sampai di depan pintu gerbang pabrik teh terbesar di Provinsi Sumatera Selatan ini. Boleh dibilang saya termasuk enggan untuk menyia-nyiakan kesempatan, jadilah saya berfoto di depan tembok pabrik sekedar untuk memoar kunjungan.
Pabrik teh di Pagaralam ini merupakan produsen teh terbesar dari Sumatera Selatan. Sebagian besar produknya diekspor. Namun sebagian kecil berkesempatan untuk mengunjungi dapur-dapur nusantara di dalam berbagai merk, termasuk di antaranya merk lokal, Teh Gunung Dempo, yang ada dalam dua varian, ortodoks dan CTC.
Ortodoks adalah istilah yang digunakan untuk pengolahan teh klasik. Sementara CTC merupakan kepanjangan dari Cutting, Tearing, and Curling yang notabene menghasilkan seduhan teh yang tidak meninggalkan banyak ampas. Berhubung saya orangnya klasik, kemarin saya merogoh sedikit kocek untuk membawa pulang satu pak Teh Dempo varian ortodoks. Soal rasa, biarlah saya coba nanti ketika sudah kembali ke Jakarta.