Bisik-Bisik Kemerdekaan Papua

“Di perbatasan seperti ini kemerdekaan adalah topik sensitif yang terus dibahas lewat bisik-bisik,” ungkap Pak Jhon kepada saya sembari mengisikan sebotol bensin ke dalam mesin perahunya, “Tidak banyak yang berani bicara. Tetapi semua berbisik-bisik, ada yang setuju merdeka tetapi banyak pula yang tidak ingin merdeka. Masyarakat terbelah.”

Menurutnya, bersama Indonesia adalah sebuah keuntungan sekaligus kengerian. Di satu sisi segalanya serba murah dan tersedia bersama negara kolam susu ini, tetapi di sisi lain mereka khawatir dipandang inferior dan diperlakukan sebagai warga kelas dua. Pak Jhon mengambil contoh saja, orang Papua Nugini harus berhari-hari mencapai pasar di Boven Digoel melintasi sungai yang buas hanya demi membeli sabun cuci, minyak goreng, dan bensin subsidi yang di sini sanggup dia nikmati dengan mudah, tanpa harus bertaruh nyawa.

“Namun kadangkala kemerdekaan bukanlah hanya soal kesejahteraan,” ucapnya parau, “Beberapa orang yang ingin merdeka bukan karena mereka merasa kurang sejahtera. Tetapi karena mereka menginginkan kembali identitasnya sebagai bangsa Melanesia.”

Sekarang Papua sudah semakin terbuka saja terhadap pembangunan. Presiden Joko Widodo membuka akses jalan beraspal dari Merauke ke Sota sejauh delapan puluh kilometer yang sanggup ditempuh dengan kendaraan DAMRI perintis selama dua setengah jam. Yang artinya warga Papua Nugini di pedalaman kini bisa dengan mudah mencapai kota modern. Perkampungan-perkampungan transmigrasi dibuka di Salor dan sekitarnya yang kelak akan membawa peluang sekaligus masalah, pabrik-pabrik dan industri gula juga baru saja berdiri di kabupaten terluar ini. Singkatnya, Papua sedang berlari kencang menuju keterbukaan.

“Saya senang menjadi bagian dari Indonesia dan saya senang melihat pembangunan ini,” cetus Pak Jhon mengakhiri pembicaraan kami, “Walaupun kadang kami merasa bahwa kami terlalu berbeda dengan kalian.”

Barangkali Pak Jhon tidak tahu. Saya, sebagai orang Tionghoa, juga sering dianggap berbeda.