Teman saya hari ini adalah kaleng-kaleng kue Lebaran. Bersama Harry, Syamsir, dan Budi, saya beranjak dari satu kampung ke kampung lain di Salor, sebuah kecamatan yang terletak sekitar empat puluh kilometer di sebelah barat laut pusat kota Merauke. Bukan perkampungan asli melainkan perkampungan transmigran.
Dulu kala daerah ini adalah hutan lebat. Orang-orang diangkut dari Jawa oleh pemerintahan Soeharto untuk mengisi tanah-tanah kosong di bagian selatan Papua dengan dalih mempercepat pembangunan dan meratakan penyebaran penduduk. Belakangan orang-orang dari Sumatera, Sulawesi, dan Bali menyusul. Hingga yang terakhir gelombang transmigran dari Nusa Tenggara Timur.
Kampung-kampung Salor tak ubahnya perkampungan di Pulau Jawa. Rumah-rumah model kampung dengan cat warna-warni, masjid besar di tengah perkampungan, kios-kios kecil penjual kebutuhan sehari-hari, hingga lapangan bola yang malah digunakan untuk menggembala ternak. Seharian berada di Salor membuat saya lupa bahwa saya dengan berada di Merauke, mulai dari pemandangan hingga pendengaran mengesankan bahwa saya sedang berada di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Di setiap rumah saya disambut hangat oleh para keluarga yang menghuni perkampungan ini. Rata-rata dari mereka sudah tiga puluh hingga empat puluh tahun tinggal di tanah ini, mengikuti gelombang transmigrasi pada akhir medio 1970-an. Selain pemukiman mereka terpisah berjauhan dengan Suku Marind, penduduk asli Merauke, pertemuan keduanya relatif tidak bermasalah.
Di tangan para transmigran Jawa dan Bugis pulalah sawah-sawah menghijau dibuka di Merauke. Sebagian besar sawah-sawah yang ada di kawasan lumbung Indonesia bagian timur ini memang dikelola oleh para transmigran. Meskipun sebagian kecil juga diurus oleh Suku Marind yang sedikit banyak belajar menanam padi-padian.
Entah tujuh atau delapan rumah yang kami harus kunjungi siang itu, mulai dari Salor hingga Kumbe. Meskipun transmigrasi tetap menjadi isu kontroversial di Indonesia, Salor adalah salah satu cerita sukses dari program masif yang pernah dijalankan oleh pemerintah Orde Baru itu.