“Horeeee!” sekitar dua lusin bapak-bapak setengah baya berkulit legam itu bersorak-sorai setiap kali seseorang membawa sepeda motornya memasuki pintu gerbang dermaga. Inilah Dermaga Kumbe yang digunakan untuk menghubungkan antara dua daratan Kabupaten Merauke yang dipisahkan oleh Sungai Kumbe.
Sungai Kumbe yang lebarnya mencapai dua ratus meter ini memang menjadi semacam tembok pemisah antara kampung sini dan kampung sana yang bagi para penduduk di kedua papar sungai itu dapat berarti sebagai sumber penghasilan. Pemerintah daerah sebenarnya pernah berencana untuk membangun sebuah jembatan demi menghubungkan dua daratan ini, namun penduduk dari kedua kampung justru tidak setuju. Mereka merasa bahwa jasa penyeberangan membuka peluang mata pencaharian untuk mereka.
“Di sini semuanya diatur dalam antrean,” cetus Harry kepada saya yang mengamati para bapak-bapak dari Suku Marind itu berdiri di ambang dermaga, “Jadi dengan demikian mereka tidak berebut. Semua perahu motor harus ikut antre untuk melayani penumpang.”
Semula saya merasa agak berlebihan ada lebih dari selusin kapal bersandar di dermaga penyeberangan ini, namun dalam waktu sepuluh menit saya sudah melihat tiga perahu yang berangkat karena sudah terisi penuh. Artinya memang arus lalu lintas penyeberangan di Sungai Kumbe ini sangat padat. Terlepas dari kepadatan yang membawa berkah tersebut, saya merasa bahwa secara keekonomian seharusnya jembatan sudah sangat layak dibangun di leher Laut Aru ini.
Penyeberangan Sungai Kumbe sendiri sejatinya hanya makan waktu tiga menit. Tiga menit saja. Untuk memangkas sungai yang setengah berombak ini dari satu sisi ke sisi lainnya sebenarnya tidak perlu berlama-lama. Dengan kata lain, penyedia jasa perahu sebenarnya menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menunggu penumpang.
Perahu kami terisi penuh ketika dua petugas Basarnas melompat masuk. Di tengah gelombang Sungai Kumbe yang mengombang-ambing, perahu motor ini bergerak tersendat-sendat. Kami pun meninggalkan daratan.