Tiga Menit di Sungai Kumbe

Entah ini sungai atau laut. Atau mungkin bisa juga disebut keduanya. Penyeberangan Kumbe ini terletak tepat di leher Sungai Kumbe yang berbatasan langsung dengan Laut Aru. Tidak sampai seratus meter ke sana semuanya sudah lautan lepas, yang artinya air sungai ini asin sampai beberapa kilometer ke arah hulunya.

Penyeberangan Sungai Kumbe hanya makan waktu tiga menit, yang barangkali apabila berada di Jawa sudah barang tentu akan ada jembatan yang menghubungkan dua daratan di Merauke ini. Namun ini Papua. Papua bukan daerah yang berkelimpahan infrastruktur jangankan layaknya Jawa, selayak pulau-pulau di Maluku pun masih jauh. Alhasil untuk memangkas jarak dua ratus meter ini, kami mau tidak mau harus menumpang perahu motor yang disewakan oleh orang-orang Marind.

Lima sepeda motor, kami berempat, dua pemilik perahu, ditambah enam penumpang lain termasuk dua petugas Basarnas menjadi muatan perahu kayu itu. Gelombang Sungai Kumbe dari tepinya saja sudah terasa begitu tidak bersahabat, namun apa boleh buat ini adalah cara tercepat untuk memangkas waktu menuju ke Merauke. Mengambil jalan melintasi Jembatan Kembar di Salor akan menambah satu setengah jam ke total waktu perjalanan.

Perahu motor pun digeber dengan kencang, untuk kami berempat dan dua sepeda motor makan biaya lima puluh ribu. Yang artinya perjalanan singkat ini berharga lima belas ribu per menit. Namun dengan segala kemahalan biaya yang ada di Papua, hal tersebut lama kelamaan saya lumrahkan.

Kapal bersandar di dermaga kayu. Seorang petugas Dinas Perhubungan sibuk mengatur penurunan muatan. Saya melompat turun di atas lumpur kemudian bergegas menuju ke tanah kering.

Seorang bapak setengah baya berkulit legam menyeringai melihat saya berjingkat-jingkat ke tepian. Beliau adalah salah satu dari Suku Marind yang sedang menunggu kedatangan perahu untuk menuju ke arah sebaliknya. Tanpa banyak ditanya, beliau menjelaskan bahwa beberapa tandan pisang yang ada di tangannya adalah untuk upacara bunuh babi di desa seberang. Sayangnya kami tidak dapat berlama-lama diskusi lantaran mencapai Merauke sebelum gelap tetap menjadi prioritas.

Matahari mengambang rendah di sisi barat. Kami berempat menggeber sepeda motor melewati jalanan sempit beraspal bolong-bolong, sementara di kanan kiri hanya terdapat vegetasi runduk yang sesekali menghalangi cahaya matahari yang sudah begitu rendah.