Hidup di Ambang Mamberamo

Di sebalik awan-awan lembut mengambang rendah itu tersimpan lekuk-lekuk urat Sungai Mamberamo dan sebuah harapan besar, membuka keterisolasian wilayah tengah Mamberamo. Dua belas tahun silam pemerintah republik ini menganugerahkan otonomi, memisahkan Mamberamo Tengah dari induknya, Kabupaten Jayawijaya. Akses serba susah dari Wamena yang terhalang deretan pegunungan Jayawijaya telah membuat Mamberamo Tengah terabaikan selama empat dekade.

Namun itu pun membutuhkan waktu sembilan tahun bagi Mamberamo Tengah untuk mampu ditembus mobil pertamanya. Selama sembilan tahun sebelumnya, mereka harus bergantung kepada pesawat baling-baling yang berseliweran setiap hari ke ibukota kabupaten di Kobakma.

Jalan-jalan raya dibangun tidak lama setelah otonomi daerah diberikan. Lekuk-lekuk jalan mengikuti kontur tanah di lereng Pegunungan Jayawijaya dan ambang Sungai Mamberamo. Sementara di dataran Kobakma sendiri, jalan raya dibangun secara simetris vertikal dan horizontal mirip buku matematika.

Teruntuk sebuah kabupaten berpenduduk hanya 80.000 jiwa, sudah barang tentu Mamberamo Tengah kekurangan sumber daya manusia untuk bisa menggerakkan roda perekonomian dan pemerintahan dengan baik. Bangunan-bangunan baru yang terlihat di bawah sana nampak demikian berjauhan satu sama lain, menyisakan tanah lapang yang terlampau luas.

“Di sana juga rata-rata pekerjanya adalah PNS,” celetuk bapak yang duduk di sebelah saya di pesawat kecil ini, “Sebab pekerjaan yang lain belum begitu tercipta.”

Hal pertama yang harus dibuka oleh Mamberamo Tengah adalah keterisolasian, yang hanya dapat dicapai dengan pengadaan akses jalan ke sentra-sentra ekonomi di luar kabupaten. Jarak yang hanya 213 kilometer dari Kota Jayapura seharusnya dioptimalkan menjadi sendi-sendi perekonomian. Namun untuk Papua, jarak 213 kilometer itu sudah luar biasa jauh untuk ditempuh dengan jalur darat.

Sementara dari Wamena sendiri, Kobakma sebenarnya sudah sering ditembus dengan kendaraan darat meskipun masih melewati jalanan beralas tanah yang sulit dilintasi pada waktu hujan. Teringat salah satu ambisi pemerintah Indonesia untuk menghubungkan kota-kota utama di pegunungan tengah Papua pada tahun 2018, namun sejauh yang saya lihat keinginan tersebut nampaknya masih akan tertunda.