“Sekolah sedang tutup, jadi saya mengayuh becak saja!” cetus pemuda bernama Elias dengan deru napasnya yang memburu ketika mengantarkan saya dengan becak dari bandara ke hotel. Seumur hidup saya baru pertama kali mendengarkan istilah ‘sekolah tutup’ digunakan sebagai pengganti kata ‘sekolah libur’.
Adalah Baliem Pilamo Hotel, sebuah hotel yang terletak sepuluh menit dengan becak dari Bandara Wamena, yang menjadi tujuan bagi saya pada sore itu. Saya tidak mempunyai banyak ide ihwal akomodasi kota ini, namun dikarenakan Baliem Pilamo adalah nama hotel yang paling banyak disebut-sebut di internet, maka saya memutuskan untuk mengikuti kehendak populer.
Baliem Pilamo adalah sebuah hotel yang sudah lama berdiri di Wamena dan menyediakan berbagai pilihan kamar. Mulai dari kamar paling murah seharga Rp 450 ribu per malam, yang sudah pasti menjadi pilihan saya, hingga yang mendekati angka satu juta per malam. Keseluruhan kamar mempunyai kamar mandi dalam dan fasilitas seperti televisi dan air hangat.
Saat ini saya sedang berada di Wamena, kota yang merupakan pintu gerbang Lembah Baliem, yang hanya berjarak dua lusin kilometer dari peradaban zaman batu. Dengan perspektif seperti itu, keberadaan Baliem Pilamo Hotel sudah tak ubahnya Ritz-Carlton bagi Wamena. Di sebuah tempat di mana beberapa tahun silam orang masih memotong jarinya sendiri sebagai wujud budaya kedukaan atas kerabatnya yang meninggal dunia, keberadaan televisi dan air hangat bak datang dari mesin waktu.
Jangan berharap banyak dari hotel ini. Pelayanan serba sederhana dengan fasilitas yang serba sederhana, namun ini adalah yang terbaik yang saat ini dimiliki oleh Wamena di pusat kotanya. Perlu diingat pula bahwa segala sesuatu di kota ini harus didatangkan melalui udara sehingga anda harus membayar premium untuk segala wujud kebutuhan.
Petugas kamar hotel memberikan kunci kamar 101 kepada saya, kamar paling depan. Seketika saya membuka pintu kamar, nyamuk berhamburan. Sepertinya saya harus semprot seisi kamar ini dulu sebelum masuk.