Pertemuan dengan Suku Dani

Lima orang berpakaian compang-camping itu menatap tajam ke arah saya dari atap truk yang melaju kencang. Busur panah digenggam oleh masing-masing seakan-akan sedang mobilisasi untuk perang di kampung entah mana. Ibu penjaga kios dan saya hanya terpana melihat truk itu melintas di tengah memanasnya situasi Wamena beberapa hari belakangan ini.

“Kabarnya hari ini banyak OPM turun ke jalan,” gerutu si ibu dari Manado itu sembari memasukkan belanjaan saya ke tas keresek, “Sejak bentrok kemarin, sepertinya OPM akan memanfaatkan keadaan ini.”

“Mereka keluar dari hutan?” tanya saya lagi.

Ibu itu hanya mengangguk. Memang situasi Wamena saat ini sedang memanas seusai bentrok di Pasar Jibama yang menewaskan seorang pemuda Makassar yang ditikam oleh orang asli Wamena. Penikaman tersebut berujung kepada demo solidaritas masyarakat Papua di kantor kepolisian dan situasi kota sempat memanas beberapa hari.

Namun hasrat saya untuk dapat menjelajah Wamena sudah terlampau besar. Dalam suasana siaga satu seperti ini, memang tidak banyak yang sanggup saya lakukan. Tukang-tukang ojek tidak berani mengantar hingga ke seluaran kota, berjalan kaki sendirian tentu juga bukan pilihan yang bijaksana.

Di tengah kebimbangan inilah tiba-tiba muncul seorang bapak tua dari Suku Dani menawarkan anyaman khas Wamena. Suku Dani adalah salah satu suku asli Wamena yang selama ini sering kita lihat berpakaian hanya dengan koteka dan mahkota jerami. Saya pun menanyakan harga dari anyaman tersebut dan beliau mengisyaratkan angka dua dengan jarinya.

“Dua puluh ribu?” saya bertanya dan beliau mengangguk-angguk senang, “Boleh, Bapa. Tetapi nanti saya bisa kan berfoto satu kali dengan bapa?”

Bapak tua itu mengangguk-angguk, saya berfoto dengannya di depan hotel dan menyerahkan uang dua puluh ribu rupiah. Meskipun saya tidak berkesempatan untuk mengunjungi Suku Dani di kampung mereka di lereng Lembah Baliem sana, ternyata justru mereka yang mengunjungi saya di pusat kota Wamena. Entah bagaimana ceritanya bapak tua tadi memutuskan untuk jalan-jalan di tengah kota Wamena. Alhasil, saya tidak terlampau kecewa dengan perjalanan kali ini.

Saya memandang bapak tersebut berjalan kaki pelan-pelan meninggalkan hotel. Sementara tidak jauh dari sana satu truk hitam membawa sepasukan Brimob bersenjata laras panjang dipacu menuju ke arah yang berlawanan.

Wamena sedang membara.