Way Kambas yang Meredup

“Oh, lagi nggak ada pertunjukan,” kata Pak Tugiyo yang kami temui di depan loket arena pertunjukan di Way Kambas. Wajahnya hanya terlihat nyengir kecil ketika saya menanyakan apakah ada pertunjukan yang bisa kami saksikan di sana.

“Tetapi saya boleh masuk?” tanya saya lagi yang dijawab dengan anggukan, dan nyengir sekali lagi.

Masuklah saya ke arena pertunjukan yang sepi. Pada bagian tribun penonton atapnya sudah hampir runtuh, bangku tercongkel pada beberapa tempat, sementara dindingnya penuh dengan graffiti yang hancur acak adut. Nampaknya kawasan ini sudah tidak terawat. Di ujung arena mata saya terpaku kepada sebuah bola sepak berukuran besar, pasti untuk sepakbola gajah.

“Perbaikan tempat ini bukan tanggung jawab pengelola sini,” jawab Pak Tugiyo lirih, “Tempat ini dibangun oleh pemerintah daerah jadi untuk perbaikannya pun harus dari inisiatif pemerintah daerah.”

Lagi-lagi urusan birokrasi membuat Taman Nasional Way Kambas terbengkalai. Kawasan yang merupakan taman nasional tertua di Indonesia ini seakan hidup di bawah bayang-bayang kejayaan masa lalunya. Di beberapa dekade yang telah lewat, Way Kambas merupakan primadona yang selalu disesaki oleh pengunjung, namun kini semuanya terkesan meredup.

Saya berjalan menyusuri bangunan-bangunan yang masih digunakan oleh beberapa orang secara riuh, namun beberapa di antaranya terlihat sudah tidak pernah direnovasi. Plafon yang jebol dan cat yang terkelupas adalah pemandangan lumrah di tempat ini. Termasuk ketika saya mencoba masuk ke dalam salah satu museum yang menampung kerangka gajah Sumatera. Pintunya terkunci.

Seorang petugas yang melihat kami mencoba untuk masuk ke ruangan museum tiba-tiba berlari dengan tergopoh-gopoh membawakan kunci pintu untuk membiarkan kami masuk. Lucu juga. Sebab seharusnya museum dibiarkan terbuka untuk pengunjung, terlebih pada akhir pekan seperti ini.

Hari ini saya menjelajah Taman Nasional Way Kambas, sebuah taman nasional yang punya kejayaan masa lalu nan luar biasa, yang kini entah kenapa terasa begitu redup. Apakah minat masyarakat yang menurun ataukah memang rendah sekali niatan dari pihak pengelola untuk membangkitkan kembali kawasan ini. Entahlah.