Meracik Indonesia di Linggarjati

Namanya begitu tenar menghiasi buku-buku sejarah, namun banyak mata yang tidak awas untuk menyadari bahwa Perundingan Linggarjati hanya berlaku sejatinya untuk tiga bulan lebih. Perundingan Linggarjati adalah sebuah nota kesepakatan antara Belanda dan Indonesia, sebuah negara yang baru berusia dua tahun untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan tepatnya pada bulan April 1947.

Hanya dua bulan berselang, terdapat ketidaksepahaman terhadap isi perjanjian tersebut yang mengakibatkan Indonesia dan Belanda bersama membatalkan kesepakatan. Agak menarik memang. Sebuah perjanjian yang hanya bertahan dua bulan namun acapkali diglorifikasi sebagai salah satu elemen penting dalam tonggak perjuangan bangsa ini memperoleh pengakuan.

Kedatangan saya ke Gedung Perundingan Linggarjati di Kabupaten Kuningan ini boleh dibilang serba mendadak. Kunjungan saya ke Cirebon pada beberapa saat lalu memaksa saya untuk mencari-cari destinasi menarik di sekitar kota ini, yang berujung pada sebuah perjalanan ke kawasan Linggarjati di kaki Gunung Ciremai. Yang lebih membuat saya terkejut adalah ramainya tempat ini dengan anak-anak muda, sebelum kunjungan ke tempat ini saya terbiasa dengan lokasi-lokasi cagar sejarah yang sunyi senyap bahkan terbengkalai.

Gedung Linggarjati sendiri cukup besar, tanahnya luas dengan kebun yang mampu menampung separo lapangan sepakbola. Di hadapannya ada sebuah prasasti yang menandai perundingan bersejarah itu. Tempat ini diusulkan oleh Maria Ulfah, Menteri Sosial Indonesia kalau itu, untuk mengakomodasi dua kepentingan lantaran Belanda menolak Yogyakarta dijadikan lokasi perundingan.

Pihak Indonesia yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir kala itu dianggap telah gagal dalam berdiplomasi. Belanda hanya mau mengakui kedaulatan Indonesia atas Jawa, Sumatra, dan Madura. Sisanya masih berada di bawah payung Hindia Belanda. Poin menarik lainnya dari perundingan ini adalah dibentuknya Republik Indonesia Serikat yang mana menjadi bagian persemakmuran yang mengakui Ratu Belanda sebagai kepala negara.

Laiknya setiap perundingan yang sudah-sudah, selalun ada pro dan kontra. Untuk Linggarjati, pihak kontra jauh lebih vokal. Beberapa pihak seperti Partai Masyumi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Rakyat Indonesia menyatakan bahwa Perundingan Linggarjati tidak lebih dari sebuah pembuktian betapa lemahnya diplomasi Indonesia. Delegasi di bawah Sutan Sjahrir ternyata tidak sanggup mendapatkan pengakuan mutlak atas kedaulatan seluruh nusantara.

Siang itu saya menyusuri tamannya yang riuh dengan anak-anak muda yang sibuk berfoto-foto, banyak sekali pertanyaan tentang sejarah Linggarjati yang mereka lontarkan kepada pemandu. Udara dingin berhembus dari Gunung Ciremai seakan meredam suasana ramai pada pagi itu hingga saya pun tenggelam di dalam memindai setiap catatan yang ada di setiap ruangannya.