Pada era Mataram Kuno, Cirebon adalah batas terbarat pemukiman Jawa. Lebih ke barat lagi maka tersisalah hutan lebat dan rawa-rawa hingga ke ujung Merak, yang mana dikuasai oleh tiga bangsa yang berbeda, Belanda di Batavia, Banten, dan Tatar Pasundan. Cirebon pad aawalnya tidak lebih dari sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang kemudian berpusar menjadi sebuah desa ramai yang dikenal oleh masyarakat dengan nama Caruban, yang artinya campuran, yaitu muara percampuran antara masyarakat Jawa, Sunda, dan etnis-etnis lain.
Tanah yang menggantung kehidupan dari kehidupan para nelayannya ini lambat laun berubah menjadi salah satu bandar yang ramai, pada era pasca-Majapahit, Cirebon bersaing dengan kota-kota pelabuhan di seantero pantai utara Jawa. Nama Cirebon sendiri lahir dari Bahasa Sunda yang artinya Sungai Udang, dikarenakan di tempat ini bermuara sungai yang menjadi pusat penangkapan udang kecil.
Kesultanan Cirebon sendiri berdiri pada abad ke-15, tatkala Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati bersama-sama dengan Pangeran Cakrabuana melakukan syiar agama Islam ke Banten. Dalam pesiaran agamanya ke Banten inilah sang Sunan Wali Songo tersebut bertemu dengan Nyai Kawung Anten yang kemudian menjadi istrinya. Pada tahun 1479, kembalilah Sunan Gunung Jati ke Cirebon dan menerima tampuk kekuasaan Kesultanan Cirebon dari Pangeran Cakrabuana.
Saat ini di Kota Cirebon berdiri empat buah kraton yang berasal dari kerajaan yang berbeda, yaitu Kraton Kasepuhan (tua), Kraton Kanoman (muda), Kraton Kaprabonan, Kraton Kacirebonan. Pada hari ini, Mira dan saya berkesempatan untuk mengunjungi Kraton Kasepuhan yang merupakan kraton tertua di Cirebon. Kraton Kasepuhan ini merupakan sebuah kraton yang menjadi pusat pemerintahan bagi wilayah hasil pemecahan Kesultanan Cirebon.
Sepeninggal Pangeran Girilaya, Kesultanan Cirebon dibagi untuk ketiga putranya. Kraton Kasepuhan dipimpin oleh putra tertuanya Pangeran Raja Martawijaya, sementara adiknya Pangeran Raja Kartawijaya pun menguasai Kraton Kanoman. Dikarenakan pemecahan tersebut, Pangeran Raja Martawijaya dikenal dengan gelar Sultan Sepuh I.
Meskipun bangunan kraton-kraton Cirebon pada umumnya masih utuh dan terawat, namun sejarah kesultanan di tanah ini tidaklah semulus kondisi kratonnya. Kraton Kasepuhan sendiri misalnya merupakan hasil perpecahan dari Kesultanan Cirebon yang akbar, yang kemudian pada medio berikutnya kembali mengalami perpecahan hingga terbentuklah Kraton Kacirebonan.
Politik internal keluarga kesultanan dan politik pribawa, pertikaian tentang siapa di dalam keluarga Kesultanan Cirebon yang lebih layak untuk berkuasa, membuat wibawa kerajaan ini pupus. Masyarakat tidak lagi menaruh banyak harapan kepada kesultanan yang sempat menguasai pesisir utara Jawa Barat ini dan pada kelanjutan historinya, kesultanan-kesultanan di tanah ini lebih banyak berada di bawah kunkungan kekuasaan kolonialis Belanda.