Wajahnya merengut. Bibirnya setengah ditekuk. Bapak setengah tua itu duduk di ujung ruangan sembari menatap anak-anak sekolah dasar yang berlarian kesetanan di halaman museum. Saya tidak tahu pasti, namun dapat ditebak bahwa bapak tersebut kesal dengan perilaku anak-anak tadi yang menolak untuk diam.
Bella dan saya melangkah masuk ke ambang pintu museum, bapak penjaga museum yang tadinya terpaku ke anak-anak itu pun terperanjat dan bergegas mengeluarkan sebuah buku tamu dari laci meja. Saya menanggapinya sebagai sebuah isyarat bahwa saya harus mengisi buku itu dan memberikan sejumlah uang untuk tiket masuk. Singkat cerita, saya sudah berada di dalam Museum Perjuangan Rakyat Jambi.
Satu karakteristik yang menarik dari museum ini adalah terpampangnya sebuah pesawat model Catalina di halaman depan museum, tepat di tengah bundaran kolam yang kini kering. Catalina adalah pesawat amfibi yang pernah tenar pada medio 1960-an lantaran kemampuannya untuk mendarat di atas permukaan air. Pesawat jenis ini pulalah yang dulu pernah dibawa oleh Presiden Soekarno mendarat di Danau Limboto tepi Gorontalo beberapa dekade silam.
Lain kisah dengan Catalina di Jambi ini. Pesawat yang dulunya menjadi milik tentara Australia dan dibeli oleh Indonesia ini sempat jatuh tersungkur di Sungai Batanghari. Kondisinya yang remuk redam tidak mengurungkan niat para teknisi Indonesia waktu itu untuk menyusun ulang kerangkanya hingga kini pesawat yang telah direstorasi tersebut berdiri mengawal gerbang museum.