Sepuluh Menit Museum Tsunami

“Tolonglah, Bu!” sekali lagi saya berusaha membujuknya, “Ayolah, kami sudah datang dari jauh.”

Museum Tsunami di Aceh baru saja tutup satu menit yang lalu. Fathur dan saya yang baru saja tiba dari Sabang terus terang terlambat untuk masuk. Namun kami masih mengusahakan pinta-pinta memelas ini karena besok pagi saya sudah harus angkat kaki ke Sumatera Utara.

“Baiklah. Sepuluh menit saja. Setelah itu kalian harus keluar,” pungkas si ibu penjaga itu mengizinkan.

Peringatan terakhir disuarakan melalui pengeras yang bergema di tiap sisi museum. Seluruh pengunjung diminta untuk keluar sekarang juga karena museum akan segera tutup. Ketika semua pengunjung sudah berjalan keluar, kami berdua baru berlarian masuk.

Ternyata Museum Tsunami itu luas. Terlampau luas untuk sanggup dikitari secara normal dalam waktu sepuluh menit. Akibatnya, Fathur dan saya harus berlarian masuk setiap ruang-ruang museum yang ada dan melihat sekilas saja apa yang kami anggap menarik. Mulai dari membaca ulasan saintifik, mengambil foto kami berdua, melihat ratusan gambar, hingga mencoba alat simulasi guncangan tsunami, semua itu kami lakukan dalam waktu kurang dari sepuluh menit.

Meskipun napas tersengal-sengal, sampailah kami di ujung rute. Si ibu penjaga tadi nyengir melihat wajah kami berdua yang sudah seperti tomat rebus. Kami pun mengucapkan terima kasih dan merebahkan diri pada teras museum untuk mengatur napas.

Tentulah saja saya masih akan berkisah apa-apa yang ada di Museum Tsunami ini, mungkin pada catatan berikutnya. Namun yang jelas cerita tentang bagaimana kami berhasil mendokumentasikan kunjungan di menit terakhir ini layak mendapatkan artikel tersendiri.