Monster ini bersandar tiga mil dari tempat di mana dia seharusnya berada, dermaga Ulee Lheu.
Gelombang Lautan Hindia menghempasnya pada suatu pagi dekade silam. Peristiwa lima belas menit itu mengubah peranannya dari sebuah generator listrik bertenaga diesel di ambang lautan menjadi sebuah monumen wisata di tengah kota. Meskipun ia kini diam persis di hadapan saya, terlampau sulit bagi saya untuk membayangkan bagaimana raksasa ini terseret ombak. Seiring langkah kaki menapaki anak-anak tangga yang berkarat, kekaguman dan kengerian berbaur di udara.
Kaki-kaki tua Pak Rochim melangkah mengikuti saya mendaki ke atap tanker. Di tepi pagar, Pak Rochim menunjuk jauh ke arah lautan lepas seraya menggumamkan kata-kata yang tidak jelas.
“Dari sana itu,” tiba-tiba suara paraunya tertangkap telinga saya, “Dari sana itu. Kapalnya diseret ombak berkilo-kilo meter dan kandas di sini. Semua awak kapal hilang karena pagi itu mereka sedang cari ikan di bawah. Kecuali satu orang yang tinggal di dalam.”
Saya tercekat. Memandang ke hamparan pemukiman yang ada di kampung ini hingga ke pelabuhan Ulee Lheu di seberang sana, terbayang dahsyatnya ombak bergulung-gulung dari Samudera Hindia membilas daratan ini. Apabila tanker sebesar ini tidak berdaya terbawa ombak, belum terbayang bagaimana nasib benda-benda yang berukuran lebih kecil.
“Kamu berhenti di sana, biar saya potret,” kata Pak Rochim sambil menunjuk ke anak tangga yang sedang saya pijak. Saya berpegangan pada kedua railing kapal yang berwarna kuning cerah. Dari atas sini terlihat jelas seluruh perkampungan yang ada di sisi barat kota Banda Aceh.
Sepuluh tahun lewat semenjak peristiwa besar itu. Banda Aceh kembali membangun, bahkan beberapa bagian kota ini dibangun lebih baik daripada sebelumnya. Seiring transformasi besar yang dijalani Banda Aceh, kapal tanker raksasa ini tetap bergeming. Kapal PLTD Apung menjadi sebuah monumen pengingat akan kekuatan alam yang luar biasa.