Andaikata saya membawa sebotol susu dari Polewali, setiba di Mamasa pasti ia sudah berubah menjadi sebotol milk-shake. Kijang uzur yang membawa saya berjuang mati-matian menaklukkan koridor sempit berbatu di tubir ngarai. Jalanan penuh kelok-kelok tajam dengan sudut-sudut sendat. Sesekali kengerian terbersit ketika beberapa tebing sisi jalan mulai longsor.
Herannya lagi, dua orang suster perawat yang duduk di sebelah saya sanggup tidur nyenyak sepanjang perjalanan yang penuh kejutan tidak terduga ini. Barangkali mereka adalah para pelintas reguler.
Memasuki teritorial Sumarorong, barulah saya kembali membidikkan kamera. Setidaknya tebing-tebing longsor yang mengkhawatirkan itu sudah terlewat. Kondisi jalan memang tak kunjung membaik, namun setengah badan jalan sudah mulai mengalami proses pembetonan. Nampaknya ada usaha pemerintah provinsi untuk membongkar keterisolasian Mamasa. Hanya saja, entah kapan selesainya.
“Tebing-tebing dikeruk buat nyari batu,” keluh si sopir, “Gimana nggak longsor?”
Mamasa adalah tetangga sebelah barat Toraja yang beda nasib. Saat Toraja disinggahi bus-bus pariwisata berukuran masif, Mamasa terjebak dalam keterisolasian. Jangankan menjelajah, untuk mengunjunginya saja susah. Yang lebih menarik, meskipun sekedar terpisah beberapa puluh kilometer, belum ada akses jalan yang layak yang menghubungkan Toraja dan Mamasa. Untuk melintas, anda harus menyewa kuda.
Matahari sudah agak rendah ketika kami tiba di Mamasa. Empat jam perjalanan yang meratakan pantat akhirnya berakhir juga di kota cantik ini. Mamasa terletak di kaki pegunungan dengan Sungai Mamasa meliuk-liuk elok membelah bagian tengah kotanya. Saya seorang diri di Mamasa. Hanya ada satu nama penduduk lokal, Serlina, yang direkomendasikan oleh salah seorang sahabat perjalanan.
“Kakak bisa menginap di Matana,” saran Serlina melalui pesan singkat. Berbekal rekomendasi seadanya tersebut, saya bermalam di Matana Lodge, sebuah hotel lapuk tepat di jantung kota.