Mendarat di Labuan Bajo

“Tiga kilometer dari bandara ke kota,” celetuk saya kepada Lomar sambil menatap ke layar GPS, “Kalau begitu kita berjalan kaki saja ya ke bandara?”

Lomar setuju. Ini adalah kunjungan pertama ke Labuan Bajo dan kami terus terang tidak terlalu paham bagaimana cara menjangkau kota. Mungkin karena hari biasa dan mungkin juga lantaran kami hadir pada waktu yang agak keliru, tidak banyak opsi yang kami peroleh. Dengan menangkupkan jaket di atas kepala masing-masing, menangkal panasnya matahari siang, kami pun berjalan cepat.

Namanya Hotel Wisata. Kamarnya tua, singup, dengan kipas angin seadanya, dan kamar mandi yang agak kotor di luar. Namun yang jelas hotel ini punya satu kelebihan untuk kami berdua. Murah. Jadilah kedua pejalan kere ini akhirnya memutuskan untuk melewatkan malam di sana.

“Hotel Wisata lokasinya juga di tengah kota,” kata Lomar, “Jadi sebaiknya kita singgah saja di sana.”

Kali ini saya yang setuju dengan Lomar. Kami berjalan melewati jalan raya sempit yang menghubungkan antara bandara dengan Labuan Bajo, desa yang kini telah menjadi ibukota kabupaten Manggarai Barat yang baru saja dimekarkan. Sudah barang tentu, cepat atau lambat, popularitasnya akan meroket.

Labuan Bajo adalah pintu gerbang Taman Nasional Komodo. Perekonomian kota kabupaten ini ditopang sepenuhnya oleh pariwisata, sumber penggerak perekonomian lain seperti perkebunan dan perikanan belum terlalu signifikan bagi wilayah ini. Singkat cerita, Taman Nasional Komodo adalah hembusan napas kehidupan bagi Labuan Bajo.

“Saya penduduk asli Labuan Bajo,” kata ibu Maria sambil terkekeh-kekeh, “Tetapi seumur hidup saya ini, saya belum pernah sekalipun ke Pulau Komodo di seberang sana.”

Menarik memang. Sebagian besar penduduk wilayah Labuan Bajo memang tidak pernah melihat, apalagi menyentuh, dunia luar. Mereka terkurung di jazirah Flores yang indah ini, menikmati ritme kehidupan yang ringan dan lambat. Jauh dari hiruk pikuk keriuhan kota-kota besar.