Sepatu licin membuat saya sedikit terperosok ketika kami berusaha menyelinap melalui salah satu celah gua. Udara dingin berhembus melintasi liuk-liuk celah bebatuan menghasilkan suara lirih seperti siulan yang sekenanya. Siulan alam, kami menyebutnya.
“Hati-hati,” seru Pak Herman kepada Lomar dan saya, “Di dalam sini banyak serangga berukuran besar.”
Benar saja. Seekor serangga serupa kecoak sebesar telapak tangan melintas tepat di depan sepatu saya membuat Lomar bergidik seperti penghuni Taman Lawang. Terang saja saya tertawa keras-keras melihat ekspresinya, hingga Pak Herman mengingatkan kami untuk tetap tenang.
Gua Batu Cermin menyelorong jauh ibarat sebuah terowongan alam. Di ujung gua terdapat sebuah celah sempit yang mana ketika musim hujan akan membuat air terkurung di ceruknya. Cahaya matahari yang memberkas menyeruak masuk dari celah di langit-langitnya terpantul ke permukaan air dan dinding gua yang basah, berkilauan bagaikan cermin.
“Jadi demikianlah mengapa disebut sebagai Gua Batu Cermin,” pungkas Pak Herman menjelaskan.
Saya hanya manggut-manggut. Sementara Lomar berdesis pelan ketika melihat belalang besar melompat dari permukaan batuan ke seberang lorong. Kemudian hening. Desir udara dingin adalah satu-satunya yang menemani perjalanan kami keluar dari lorong alam itu.
Tidak sampai satu jam kami menyusuri lorong alam ini. Kami bertiga keluar dari gua yang singup dan tiba di sebuah pasase yang dipepet dua jajaran tebing batu tinggi. Tebing batu yang menurut cerita para geolog terbentuk dari dasar laut berjuta-juta tahun yang telah lewat.
Keberadaan Gua Batu Cermin adalah komponen penting pariwisata Labuan Bajo. Pasalnya mayoritas wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo menghabiskan waktunya untuk menyelam di perairan Pulau Komodo. Seusai menyelam, seseorang disarankan untuk melakukan aklitimasi selama dua atau tiga hari di daratan. Aktivitas para penyelam semasa aklitimasi, tentu saja, salah satunya adalah mengunjungi Gua Batu Cermin.