“Bunda Maria dan fosil ikan,” jawab singkat si pemandu melontarkan dua hal yang sama sekali tidak ada hubungannya itu. Apabila saya punya kesempatan untuk menyebutkan Bunda Maria dan fosil ikan dalam satu kalimat, maka hanya di Gua Batu Cermin inilah tempatnya.
Setelah bersusah payah berdiri di atas penampang batu kristal licin, saya akhirnya mendapati objek yang disebut sebagai “Bunda Maria” oleh si pemandu. Bercak putih membekas di salah satu sudut gua, serupa dengan kesan perwujudan patung Bunda Maria. Saya hanya tersenyum sewaktu mendengar penjelasan panjang lebar dari si pemandu, sementara Lomar nampak kesulitan memindai penampakan itu.
Dinding Gua Batu Cermin punya tekstur yang licin. Setiap kali cahaya matahari masuk melintasi sela-sela gua, maka sebagian dindingnya akan berkilauan seperti cermin. Kontur gua ini juga membuat suasana di dalamnya terasa lembab dan dingin.
Sinar matahari menyorot wajah ketika kami mencapai ujung gua. Si pemandu mengajak kami keluar dan berdiri di tengah pasase yang diapit dua tebing batu terjal. Sementara cahaya matahari masuk tegak lurus dari celah yang ada tepat di atas kami.
“Kalau di sini, cukup banyak fosil ikan,” kata si pemandu menguraikan fenomena di sekitar gua, “Ilmuwan berkata bahwa pada zaman purba wilayah ini berada di bawah air. Namun pergeseran lempengan bumi membuat daratan naik seperti sekarang.”
Saya memperhatikan gurat-gurat tegas yang ada di bebatuan itu. Begitu dekat hingga hidung saya nyaris menempel di permukaannya. Memang nampak seperti seekor ikan yang membatu dan membaur dengan dinding gua. Entah berapa juta tahun usianya.
“Kami berniat mempopulerkan gua ini,” ucap si pemandu seraya menuntun kami keluar, “Nantinya kami juga akan bikin restoran kecil dan toko barang-barang kerajinan di depan sana.”
Dan demikianlah perjalanan kami ke Gua Batu Cermin berakhir siang itu. Sekarang Lomar dan saya, dua traveler dadakan ini, harus berburu kapal untuk berangkat ke Komodo esok.