Sepetak Surga dari Flores

Bukan aras-arasen, tetapi memang sekujur tubuh saya terasa perih. Sudah barang pasti saya terlampau lama berjemur dua hari belakangan ini. Kulit yang berwarna merah legam menjadi salah satu indikator yang baik bahwa tubuh ini sudah dipersalahgunakan.

Sore ini saya hanya ingin berteduh.

Matahari memang selalu menarik untuk diakrabi, namun alih-alih dirasakan bolehlah kini hanya sebatas disaksikan. Jadilah Lomar dan saya menghampiri restoran Treetop yang terletak di tepi pantai. Dua lantai dengan teras terbuka ke arah barat, menatap langsung ke matahari yang bersaing dengan arak-arakan awan mengambang rendah di langit Flores.

Semburat jingga menyilaukan ditepis oleh mendung. Sisa-sisa berkasnya menggoreskan pantulan apik di sepanjang perairan yang dihiasi kapal-kapal mungil. Sementara pulau-pulau kecil di seberang perairan Flores nampak menghalang-halangi cahaya matahari, menyisakan warna selang-seling yang indah di perairan sunyi ini.

Tidak salah apabila dua gelas es teh yang kami beli di sini ditagih dengan harga premium. Pasalnya sang empunya restoran tentu tidak menjual es teh itu sebagai suatu entitas minuman, melainkan menjajakan tontotan apik matahari terbenam dengan es teh sebagai bonusnya.

“Jangan lupa besok kita harus menyeberang pagi-pagi ke Pulau Rinca,” kata Lomar mengingatkan, “Jadi kita harus tidur cepat malam ini karena esok hari kita harus berkejaran dengan matahari terbit.”

Esok mungkin kita akan berkejar-kejaran dengan matahari, namun yang jelas petang ini kami mencoba berdamai dengan sang mentari. Menungguinya melesak pelan-pelan dari lapang teras lantai dua sebuah restoran kecil berlantai kayu. Sementara waktu berjalan lambat.