Lelaki tua itu mendengus. Sembari terpincang-pincang, ia berusaha mendaki anak tangga pondok kayu kecilnya. Sebagai juru kunci makam, tugasnya satu, menyodorkan buku tamu untuk saya mengisinya.
Pandangan saya menyapu barisan nama yang tampil di halaman buku tamu itu. Tidak seorang tamu pun berasal dari luar Sulawesi. Paling jauh dari Makassar. Saya membubuhkan sebaris catatan tambahan dan menunggu sang juru kunci meminta uang. Ternyata tidak. Si bapak tua melipat buku tamunya kemudian mengabaikan saya, seakan saya tidak pernah ada di tempat itu. Dan demikianlah diamnya sang juru kunci saya artikan sebagai izin untuk masuk.
Lebih dari empat ratus tahun lampau, Kerajaan Banggae menguasai Majene bersama enam kerajaan lain dalam hubungan yang dinamai Pitu Baqbana Binanga, tujuh kerajaan muara. Seluruh anggota keluarga kerajaan yang meninggal akan dikuburkan di bukit yang menjorok ke pantai ini. Tidak main-main, total ada hampir lima ratus batu nisan tanpa epitaf di kompleks ini. Milik siapa? Tanpa inkripsi rasanya sangat runyam untuk memilah-milah dan mengidentifikasi makam secara individual. Satu-satunya tulisan yang ditatah pada batu nisan adalah karya vandalisme anak-anak kampung yang lepas tanggung jawab.
Inilah Buttu Ondongang, peristirahatan terakhir bagi bangsawan ningrat Banggae. Secara harafiah, Buttu Ondongang berarti bukit tempat melompat. Melompat ke mana? Entahlah. Yang jelas lokasi bukit cantik bersejarah ini tepat di atas lautan. Sebuah pelompatan kah?
Sejauh mata memandang tampak lautan bagaikan tirai biru melingkupi tanah kober ini. Pemandangan apik yang saya yakin jika di Jawa pasti sudah diduitin.
Adakah niatan bagi pemerintah dan masyarakat Majene untuk mempopulerkan tempat ini? Dari sedikit penerawangan di mesin pencari sepertinya sudah banyak yang menulis tentangnya. Namun tentu saja promo tidak cukup. Butuh pembangunan infrastruktur yang baik dan kesadaran bersama untuk menjaga cagar budaya ini dari tangan-tangan vandalis.