Alarm yang disetel berlapis-lapis berdering berbarengan di kamar hotel kami yang sempit itu. Suaranya pekak tidak karuan. Namun Lomar dan saya memang tidak punya pilihan, andai kami terlambat bangun maka terlewat sudah kesempatan untuk menapaki Taman Nasional Komodo. Sepakat. Jadilah kami pada malam itu tidur dengan pengamanan berupa multialarm.
Sesuai rencana awal, kami bergegas menuju dermaga sebelum matahari menampakkan diri. Di kejauhan, terlihat dua anak muda yang akan mengantar kami ke Pulau Rinca nampak sudah sibuk memanasi mesin kapal. Sebuah awal yang sempurna untuk perjalanan menuju kediaman para komodo.
Berbeda dengan cahaya jingga merona ketika terbenam, matahari terbit dengan semburat merah muda malu-malu berbaur dengan berkas-berkas violet. Awan-awan kecil semarak melatari pulau-pulau kecil yang tersebar di perairan Labuan Bajo, sementara raungan kapal motor memecah keheningan laut pagi yang tenteram.
Saya bungkam dua ribu bahasa. Lomar sibuk membidikkan kameranya ke sana kemari, nampaknya dia sedemikian menikmati corak-corak angkasa yang beraneka warna. Bagi saya rasa kantuk maupun minat berfoto sudah dibilas keinginan yang membuncah untuk menyinggahi pulau masyhur itu. Kamera kecil yang semula tergenggam erat-erat itu saya serahkan ke Lomar dan memintanya mengambilkan gambar.
Langit sudah terang. Namun matahari masih bersinar sekenanya. Pagi hari di Flores memang menyimpan romantisme tersendiri, sebuah paparan menggoda yang acuh tak acuh. Ia indah memikat namun tidak memaksa untuk dinikmati. Ia semarak namun tidak bergelora. Ia menatap sayu namun tidak muram.
“Dua jam kita di laut, paling pagi sampai ke Rinca,” jurumudi kapal mencoba berbicara dengan sebatang rokok terapit di antara kedua bibir pucatnya. Sudah barang tentu menjadi pengunjung pertama Taman Nasional Komodo pada pagi itu menempatkan kami di posisi spesial. Bukan begitu, eh?