Mereka menyebut kota ini Khuntien. Di sini etnis Tionghoa adalah mayoritas, mencakup sekitar sepertiga dari penduduk Pontianak. Sisanya didominasi etnis Melayu dan Dayak, barulah kemudian sebagian kecil etnis Jawa dan Bugis.
Menariknya, Khuntien bukan terlahir dari rancang bangun Tionghoa. Kota perdagangan yang senantiasa ramai ini justru pada awalnya didirikan oleh seorang syekh keturunan Arab-Melayu, Syarif Abdurrahman Al-Qadrie. Di dalam pelayarannya dari Mempawah, sang syekh mendapatkan gangguan dari kuntilanak kala melintas di pertigaan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Usai berhasil mengusirnya, Syekh Al-Qadrie mendirikan satu pemukiman kecil di simpang sungai tersebut dan menamainya Pontianak, perempuan yang mati ketika beranak.
Ibukota region Kalimantan Barat yang menyandang nama horor ini lambat laun menjadi pintu gerbang masuknya pedagang-pedagang Tiongkok ke Indonesia. Dari pelataran Tiongkok selatan, mereka berlabuh di seputaran Pontianak dan Singkawang.
Semenjak saat itu tumbuh pesatnya Khuntien tidak mampu dilepaskan dari peran serta dan sepak terjang masyarakat Tionghoa, akulturasi budaya yang terjadi selama berabad-abad juga memahat budaya lokal yang unik. Bahkan lebih lagi di kota tetangganya, Singkawang.
Kedatangan saya ke Pontianak pada lohor yang membara ini disambut oleh Connie, seorang sahabat yang selama ini hanya terhubung di dunia maya. Destinasi pertama yang kami sasar adalah sebuah klentheng Tridharma di lintas bandar udara. Berkat bantuan Connie, saya berkesempatan untuk menjelajah setiap sudut Pontianak dalam waktu yang sangat terbatas.
“Nanti kita ke museum, ke rumah Dayak, tugu khatulistiwa,” sambung Connie, “Ya pokoknya apapun yang koko mau cari kunjungi di sini bisa diselesaikan dalam satu hari.”