Di Jawa, sungai adalah dinding pembatas. Pembatas antar desa, pembatas antar kampung. Di Kalimantan sebaliknya. Sungai adalah penghubung, urat nadi bagi arus lalu lalang manusia dan perdagangan barang yang penuh hingar bingar. Tidak terkecuali Sungai Kapuas, sungai terpanjang di nusantara, yang berkelok mengular jauh dari Selat Karimata menuju ke sudut-sudut terdalam Kalimantan, memberikan akses pada desa-desa di paparannya.
Hari ini saya berkesempatan melintasi Sungai Kapuas, memotongnya dari pusat Pontianak menuju ke sisi lain kota yang dikenal dengan nama Siantan. Menariknya, meskipun sudah tersedia beberapa jembatan, keberadaan kapal roro (roll in roll out) ternyata masih diminati oleh masyarakat kota khatulistiwa ini.
Jadilah saya pada siang mendung ini bergabung bersama warga lokal, membaur menjadi satu merasakan penyeberangan Sungai Kapuas dengan menggunakan kapal. Entah berapa ongkosnya, saya lupa, namun yang jelas hanya butuh waktu sekitar lima belas menit untuk mencapai sisi sungai yang satunya.
Seketika kapal bersandar pada seberang sungai, ujung lain kapal terbuka dan kendaraan-kendaraan yang tadinya dibawa masuk ke kapal serta merta berhamburan keluar, melanjutkan perjalanan mereka dari belahan utara kota. Menarik melihat riuh rendah aktivitas masyarakat yang difasilitasi oleh kapal yang berjalan bolak-balik ini. Meskipun terkadang saya masih menyimpan pertanyaan, mengapa masih banyak yang memilih menggunakan kapal daripada melintasi jembatan yang ada di ujung sana. Entahlah.
“Ayo koko,” ajak Connie tiba-tiba, “Kita langsung saja ke Tugu Khatulistiwa, tidak terlalu jauh dari sini.”
Demikianlah, saya pun mengambil sepeda motor. Memacunya keluar melintasi jalanan pasar yang becek, kemudian keluar di jalan provinsi. Dari sana sepeda motor kami pacu menuju ke barat menyusuri tepian Sungai Kapuas. Tujuan kami jelas, mengunjungi Tugu Khatulistiwa sebelum hujan turun.