Memburu Jembatan Ampera

“Kamu tidak keberatan kalau kita tetap hunting malam ini?” tanya saya, sementara di luar sana gelegar guntur mendampingi hujan badai mengguyur Palembang. Di luar terkaan saya, Eva justru tertawa dan mengiyakan. Jadilah kami berdua berangkat berburu foto di tengah badai.

Saya baru kenal Eva sore itu. Tidak lama setelah mendarat di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin, saya bertemu dengan wanita pendaki gunung ini Palembang Indah Mall. Namun entah kenapa chemistry kami berdua cepat nyambung soal jalan-jalan, jadilah kami menunaikan tugas pertama di Palembang sore itu yaitu berburu foto di tengah badai.

Eva memacu mobil kecilnya menerobos jalanan menuju ke arah Stadion Jakabaring, kemudian berputar balik. Daerah yang dulu pernah saya singgahi beberapa tahun silam kini sudah tumbuh menjadi deretan gedung-gedung yang ramai. Sungguh Palembang tumbuh dengan pesat. Namun bukan itu yang saya cari karena tujuan kami hanya satu, mendapatkan gambar terbaik Jembatan Ampera di tengah hujan badai.

Mobil diparkir beberapa ratus meter di depan tiang jembatan begitu saja. Saya sempat was-was karena kita benar-benar parkir di jalan raya. Namun Eva meyakinkan saya bahwa hal seperti ini tidak apa-apa di Palembang. Mulailah kami berdua mengeluarkan kamera masing-masing dan menjepret ratusan gambar jembatan legendaris ini.

Ada cerita tentang Jembatan Ampera. Jembatan kebanggan masyarakat Palembang ini diresmikan oleh Jenderal Ahmad Yani pada tanggal 30 September 1965. Segera setelah peresmian jembatan ini, Jenderal Ahmad Yani terbang kembali ke Jakarta dan pada malam harinya beliau terbunuh dalam revolusi yang melibatkan penculikan para jenderal.

Kamera saya turunkan dari wajah. Hempasan angin dan air hujan membasuh rata kota Palembang. Hanya tinggallah kami berdua tertegun menatap pendar apik Jembatan Ampera di kegelapan malam. Terkadang dalam sebuah perjalanan ada hal-hal yang sebaiknya dinikmati tanpa kamera.