Siguntang Atap Palembang

Legenda dan sejarah acap berbaur karib. Usaha memilah dan memilih terkadang menghasilkan rangkaian rekam cerita yang tidak lengkap. Tanpa terkecuali riwayat Raja Si Gentar Alam yang historinya terkesan samar-samar. Didapuk berasal dari Imperium Sriwijaya, sang prabu kerap dihubung-hubungkan dengan sosok Iskandar Zulkarnaen, atau Dhū al-Qarnayn, yang secara harafiah berarti Dia Yang Bertanduk Dua.

Tidak diketahui apakah sosok Raja Si Gentar Alam atau Iskandar Zulkarnaen Alamsyah ini adalah sosok yang sama dengan sosok Iskandar Zulkarnaen yang masyhur dalam jejak sejarah dunia.

Sejarawan memang lebih cenderung mengidentikkan nama Iskandar Zulkarnaen sebagai Alexander The Great, penguasa Makedonia yang menggerakkan invasi ke Asia Barat, lebih kurang seribu tahun sebelum Imperium Sriwijaya berdiri. Walaupun demikian, sebagian masyarakat Palembang masih tetap meyakini bahwa Raja Si Gentar Alam yang kini bersemayam di Bukit Siguntang tidak lain dan tidak bukan adalah Sang Iskandar Zulkarnaen.

Meskipun telah menyandang nama sebagai bukit, Siguntang hanyalah sebuah tinggian 27 meter di atas permukaan laut. Lantaran Palembang berada di dataran yang sangat rendah, jadilah Siguntang yang tidak seberapa tinggi ini pun mengatapi kota pempek. Tentu bukan tanpa alasan bahwa Bukit Siguntang begitu tenar di Sumatera Selatan dan disakralkan oleh sebagian orang. Bukit ini dipandang sebagai salah satu tempat suci dan karismatik semenjak milenium silam yang tenar hingga Semenanjung Malaya.

Tertulislah di dalam kitab Melayu yang ditemukan di Perlis, Malaysia, tentang riwayat sebuah kota besar bernama Palembang. Di kitab itu pulalah dikisahkan tentang keberadaan Bukit Siguntang yang terletak di paparan Sungai Melayu, anak Sungai Muara Tatang.

Di kawasan perbukitan inilah ditemukan makam Raja Si Gentar Alam beserta keturunan-keturunan besar Imperium Sriwijaya, termasuk Putri Kembang Dadar, Putri Rambut Selako, Panglima Raja Batu Api, dan Panglima Bagus Kuning. Bukit Siguntang juga dikukuhkan sebagai peninggalan sejarah penting seusai ditemukannya arca-arca Buddha pada penghujung dekade dua puluhan.

Siang itu saya bersama Alya menyusuri pepohonan rimbun yang menaungi Bukit Siguntang. Lokasi yang dulu merupakan salah satu titik penting di sejarah Melayu ini sekarang menjadi taman yang teduh dan sejuk, seakan-akan terlepas dari panasnya Palembang.

“Sepertinya kita yang paling pagi datang ke sini,” celetuk saya kepada Alya, “Belum jam sembilan, pantas saja penjaganya juga masih nyapu kebun.”

Alya hanya menanggapi dengan tertawa. Terlalu pagi berarti kabar baik buat kami yang masih berencana menjangkau seluruh museum di seantero kota Palembang sebelum matahari terbenam.