Pendar cahaya semenjana yang beriringan itu entah mengapa terasa memaksa saya untuk memicingkan kedua mata. Boleh jadi karena saya sudah terlampau lelah atau karena angin menghempas asap bakaran sate ke mana-mana. Deret lampu-lampu putih menerangi pekatnya malam, berbaur dengan nyala lampu kendaraan yang senantiasa lalu lalang.
Jembatan Siti Nurbaya melintang cantik di atas Sungai Batang Arau, menghubungkan antara luasan kota Padang dengan penggalan Seberang Padang. Dinamakan demikian karena jembatan anggun ini membuka akses menuju Gunung Padang, salah satu lokasi latar novel karya Marah Rusli, Siti Nurbaya.
Tersebutlah nama Marah Rusli, dokter hewan asal Minang yang seratus tahun silam merilis ceritera Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai), seorang dara yang dipaksa menikah oleh orang tuanya. Ya, seorang dokter hewan yang merangkap pujangga. Hikayat goresan Marah Rusli yang diterbitkan Balai Pustaka itu lahir menjadi novel fenomenal yang secara tersurat menyuarakan emansipasi wanita di zamannya.
Nyaris satu abad terlewatkan semenjak saat itu, Siti Nurbaya diabadikan sebagai nama sebuah jembatan megah di pesisir Padang. Pembangunan jembatan ini empat belas tahun silam menelan biaya dua puluh milyar, didukung oleh pendanaan dari Asian Development Bank.
Malam itu saya duduk bersama Alandri, membahas banyak hal seraya menatap lepas ke Sungai Batang Arau yang mengalir lembut di bawah sana. Beberapa perahu nampak bersandar di paparan sungai yang berhulu di Bukit Barisan itu. Sementara semerbak bau jagung bakar menyesaki udara malam.
“Pergi ke Padang belum lengkap kalau belum ke jembatan ini,” ungkap Alandri. Sebuah kenyataan yang luar biasa mengingat usia jembatan ini masih relatif sangat muda. Namun Alandri benar, Jembatan Siti Nurbaya yang muda ini begitu fenomenal, laiknya sebuah totem bagi kota Padang.