Kedurhakaan anak dan insekuritas orang tua adalah topik lumrah legenda Melayu Kuno. Orang Indonesia menyebutnya Malin Kundang, sementara orang Malaysia menyebutnya Megat Sajobat dan orang Brunei menyebutnya Nakhoda Manis. Intinya sama, seorang anak yang meraih kesuksesan di tanah perantauan namun enggan mengakui orang tuanya kemudian dikutuk berubah menjadi batu.
Di Pantai Air Manis terdapat bongkah-bongkah batuan yang menyerupai sosok Malin Kundang yang sedang bersujud, tertelungkup seakan sedang meratap. Di sekitarnya terdapat keping-keping bebatuan semenjana yang menggambarkan pecahan-pecahan kapal.
Bukan seperti kata kebanyakan orang, batu ini tidak alamiah. Batu Malin Kundang yang ada di Pantai Air Manis dipahat oleh dua orang seniman Minang bernama Dasril Bayras dan Ibenzani Usman kurang lebih tiga puluh tahun lampau. Semenjak itu, Batu Malin Kundang merupakan salah satu pertunjukan kardinal dari Pantai Air Manis.
Tidak berapa lama kami di pantai ini, Elza kemudian mengajak saya untuk melihat seantero pantai dari perbukitan di atas sana. Benar saja. Pemandangan di atas memang terlihat jauh lebih leluasa, pulau-pulau kecil nampak bertebaran di sepanjang garis pantai Sumatera Barat ini.
“Sudah, kakak foto dulu di sana,” kata Elza sambil membidikkan kameranya dan berkelakar, “Dari sana kelihatan bagus, apalagi pakai baju hitam-hitam begitu panas-panas begini.”
Dahulu kala dari pantai ini telah lahir salah satu kisah legenda paling fenomenal di sejarah perhikayatan Indonesia, Malin Kundang, yang membawa budaya Minang ke seantero nusantara. Kini pantai ini menjadi salah satu destinasi yang memikat wisatawan dari seluruh negeri, utamanya dari Sumatera. Buat saya, ini penutupan yang sempurna untuk perjalanan pada siang hari itu.