Baru satu menit kemudian saya menyadari kebodohan. Penjaga hotel menawarkan kopi atau teh sebagai hidangan pembuka, saya dengan spektakuler memilih teh.
Mamasa adalah negeri penghasil kopi. Bahkan ada yang berkata bahwa kopi Toraja yang dijual di Jakarta sebenarnya berasal dari Mamasa. Itulah mengapa tidak ada satu manusia pun pesinggah di Mamasa yang melewatkan kesempatan untuk menikmati kopi. Kecuali saya. Pagi tadi.
Bergegaslah saya menebus dosa dengan memesan secangkir kopi lokal di warung sebelah. Untung saja lidah pecinta kopi seperti saya tidak kesulitan membedakan antara kopi instan dengan yang autentik.
“Iya, benar. Kopi lokal. Panen sendiri,” sahut si ibu dengan nyengir kuda.
Mamasa memang menghasilkan kopi, namun belum banyak mengolahnya. Pengolahan masih dilakukan dalam jumlah kecil oleh industri lokal. Belanda memperkenalkan kopi ke Toraja dan Mamasa beberapa abad silam dikarenakan kondisi keduanya sepadan sebagai habitat tanaman kopi. Ketika Toraja berhasil membawa kopinya mendunia, tidak demikian halnya dengan Mamasa. Mamasa masih punya kesulitan memasarkan, bahkan sebagian bijih mentahnya dikirim ke Toraja untuk dikemas sebagai kopi Toraja.
Matahari selalu bersinar terlambat di Mamasa. Saya bersantai di ambang teras, sementara udara dingin berdesir menggores permukaan kulit. Satu paket kopi dari warung sebelah sudah terseduh. Aromanya semerbak memenuhi udara. Saya baru teringat beberapa hari yang lalu berkunjung ke kafe yang menjual aneka kopi Indonesia di Menteng Huis Jakarta dan menanyakan ihwal kopi Mamasa.
“Oh, maaf. Tidak ada. Kami tidak menjual kopi Mamasa. Tapi kalau Kalosi Toraja, kami ada,” pungkas ibu penjual yang menyudahi pencarian saya.