Seorang kawan pernah nyeletuk. Seandainya Monumen Cinta Presiden Soekarno dibangun di Jawa Timur maka anggarannya pasti lebih besar. Bukan hanya gara-gara bea pembuatan sedasa patung bakalan lebih mahal, namun pembangunan monumen poliamoris seperti itu dikhawatirkan lebih banyak mengundang kontroversi dan komedi daripada manfaatnya.
Sudah barang tentu lain halnya dengan Sulawesi Selatan. Provinsi ini punya figur Habibie yang membawa citra mukhlis soal cinta-cintaan. Sudah beliau pintar, sukses, monoamoris pula.
Jangan heran apabila kemudian perjalanan cinta Habibie-Ainun diabadikan dalam sebuah buku, film, dan kini kisah cinta pun bisa jadi monumen. Monumen yang berdiri di kawasan sentra Parepare itu menjadi landmark anyar kota pesisir ini. Habibie bukan sekedar negarawan merangkap ilmuwan, bagi Parepare beliau adalah pahlawan yang telah membawa kota ini mendunia.
Hari ini hari kedua Idul Fitri. Dua bus berukuran sedang diparkir di sisi jalan, sementara penumpangnya yang terdiri dari ibu-ibu sibuk berfoto di depan monumen ini. Di belakang monumen dipajang foto-foto penggambar riwayat hidup sang mantan presiden, utamanya ketika beliau masih muda. Beberapa orang juga nampak mengajari anak-anak kecilnya yang mungkin belum mengenal siapa itu Habibie.
Habibie bukan hanya kebanggaan Parepare, melainkan kebanggan Indonesia. Bahkan saya rela singgah di kota ini di tengah-tengah perjalanan menuju Makassar demi menyambangi monumen ini. Menarik bahwa dari tujuh presiden yang pernah memimpin bangsa ini, dua dengan jalan kisah cinta paling fenomenal adalah antitesis satu sama lain.
Ketika yang satu menebar daya pikat, yang lain mengajarkan kesetiaan.