Parepare bukan kota kecil. Ia adalah kota terpenting kedua di Sulawesi Selatan. Lonely Planet menyebut kota ini sebagai versi Makassar yang lebih hijau. Tidak salah apabila kita melihat kemiripan budaya dan lanskap antar kedua kota. Parepare adalah versi kecil Makassar, minus kegaduhan dan kebisingan.
Tiba di tanah ini sebelum matahari terbenam barangkali adalah bonus bagi perjalanan saya kali ini. Dari sela-sela jendela rumah makan, saya menyaksikan semburat jingga membakar langit. Sekelompok anak pantai berlarian ke ujung dermaga, duduk menghadap ke barat, menyaksikan tenggelamnya matahari.
Nama Parepare ditengarai berasal dari ucapan Sultan Gowa, “Bajiki ni pare“, yang artinya : sebaiknya di sinilah pelabuhan. Jadilah daerah tersebut kemudian dikenal sebagai kota pelabuhan, alias Pare.
Sementara di dalam Bahasa Bugis, Parepare mempunyai makna yang tersendiri, yaitu kain penghias yang digunakan pada perayaan adat seperti pernikahan. Istilah ini diangkat pula dalam sejumlah sastra Bugis klasik, misalnya karangan Arung Pancana Toa yang bertarikh dua abad silam.
Inilah kota pemberhentian terakhir saya dalam perjalanan lintas barat Sulawesi. Itulah juga yang menjadi alasan mengapa saya rela merogoh kocek lebih dalam untuk menginap di Pare Beach Hotel. Biarkanlah persinggahan di kota pamungkas ini saya sedikit memanjakan diri. Tentunya setelah menggembel selama berminggu-minggu dengan kondisi serba seadanya.