Mobil travel yang saya tumpangi dari Poso melaju kencang seakan girang bertemu aspal mulus setelah seharian melalui jalanan berbatu. Hujan yang melanda pesisir Sulawesi Tengah membaur dengan pekat malam seakan tidak sanggup membujuk sopir untuk meningkatkan kewaspadaan akan kegelapan. Mungkin bagi sang pengemudi yang terpenting adalah cepat sampai.
Saya diturunkan di simpang laluan senyap. Di tengah malam buta. Di guyuran hujan badai. Suka tidak suka, mau tidak mau, inilah kesan perjumpaan pertama saya dengan Palu.
Awal perjumpaan yang muram bukan berarti harus diikuti rentetan kemuraman. Nyatanya pagi ini saya disambut Palu yang cerah dan hangat. Hujan lebat semalam suntuk seakan tidak berbekas ketika langit biru hanya menyisakan awan-awan tipis yang menggantung rendah.
Tidak ingin menyia-nyiakan momentum ini, saya mengambil langkah cepat menuju ke tepian laut di mana pasir yang kecoklatan terendam hujan semalam berbaur dengan air laut bening yang tenang, tidak banyak bergerak. Sementara pada sisinya terlihat Jembatan Palu berwarna kuning benderang mendominasi lanskap.
Gejolak etno-politik yang terus melanda Ambon pada media 1990-an membuat Palu menjadi kota terbesar ketiga di bagian timur Indonesia, setelah Makassar dan Manado. Palu tumbuh pesat semenjak didapuk menjadi kotamadya pada tahun 1994, tumbuh dari sebuah kota yang senyap menjadi salah satu jantung perekonomian Sulawesi.
Kota Palu sekarang mendapatkan kehormatan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus, yang artinya kota ini akan berlari lebih kencang lagi dalam waktu-waktu mendatang. Utamanya ketika arus barang dan uang lebih leluasa menjangkau kota di selipan Teluk Donggala ini.
Pagi itu saya berjalan kaki entah berapa kilometer memapas pantainya yang kecoklatan. Matahari yang tadi hangat semakin membakar, menyisakan rasa perih di tangan. Saya tidak peduli. Saya ingin melihat kota ini lebih jauh.