Butuh waktu bagi Senopati Jin Bun untuk menyadari bahwa ayah kandungnya, Kertabhumi, sama sekali tidak berusaha membalasnya. Prabu Brawijaya V, demikianlah Kertabhumi bergelar, memilih menjauhi pertumpahan darah dan mengasingkan diri bersama para loyalisnya menyeberangi pasase sempit yang memisahkan Pulau Jawa dan Bali. Ia berlalu, meskipun mungkin hatinya remuk redam.
Atas saran Sunan Ampel, Jin Bun memutuskan untuk tidak mengejar ayahnya, ia membiarkan Sang Prabu menghabiskan sisa hidup di pulau seberang. Ibarat kayon tertancap, demikianlah Imperium Majapahit tamat, mengakhiri kedigdayaan mereka selama empat abad.
Jin Bun bukan putra mahkota Majapahit. Ia tidak lebih dari anak hasil hubungan Kertabhumi dengan istri tidak sah, Siu Ban Cie, seorang gundik Tionghoa dari Gresik. Namun konflik internal yang terus mewarnai masa-masa terakhir Majapahit melibatkan dirinya ke dalam lingkar kekuasaan.
Keruntuhan Majapahit membuka lembaran sejarah baru untuk nusantara. Jin Bun mengubah namanya menjadi Raden Patah dan kemudian mendirikan Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama dan terbesar di pantai utara Jawa, sekaligus mengakhiri era Hinduisme.
Kisah bagaimana Raden Patah berjanji untuk tidak mengejar ayahnya yang mengasingkan diri ke pulau seberang pulalah yang disebut-sebut menjelaskan kenapa Bali tetap beragama Hindu. Demi menghormati janji Raden Patah, raja-raja Islam di Jawa berikutnya sama sekali tidak menyentuh Bali. Entah benar atau tidak, saya tidak tahu. Namun satu hal yang pasti, Islam menyebar dari Jawa hingga ke Nusa Tenggara Barat termasuk Lombok dan Sumbawa, namun melewatkan Bali. Boleh jadi ini sejarah, namun mungkin juga hanya legenda spekulatif. Entahlah.
Selat Bali begitu menarik. Lautan sempit yang hanya selebar empat kilometer ini sanggup memisahkan dua wujud kultur-religi yang sama sekali berbeda, antara Pulau Jawa dan Pulau Bali.
Matahari masih malu-malu menampakkan diri ketika saya bersama Dito menyeberangi selat ini. Alih-alih menapak tilas perjalanan Prabu Brawijaya V yang hatinya terluka, kami justru menyeberangi Selat Bali dengan penuh sukacita lantaran sebentar lagi kami akan melewatkan liburan di Pulau Dewata.
Mungkin tidak lebih dari empat puluh menit kami berada di atas laut berombak tenang. Kapal fery yang bertolak dari Pelabuhan Ketapang ini segera bersandar di Pelabuhan Gilimanuk, yang artinya kami akan segera menjalani petualangan baru.