Hampir dua belas jam kami habiskan di perjalanan. Kendara di atas bus dari Denpasar menuju Padangbai dilanjutkan oleh fery penyeberangan menuju Pulau Lombok. Belum tuntas, dari Pelabuhan Bangsal kami harus menumpang angkot menuju ke utara, kemudian berganti dengan cidomo, dokar ala Lombok, untuk mencapai Pelabuhan Lembar. Hingga akhirnya, perahu kayu menjadi moda transportasi pamungkas.
Sampailah kami di Gili Trawangan, tepat ketika matahari sedang tegak lurus di atas kepala. Dua belas jam sudah barang tentu bukan apa-apa bagi saya yang pernah menjalani lintas Sumatera berpuluh-puluh jam lamanya. Namun perjalanan kali ini menjadi istimewa karena sedemikian beragamnya moda transportasi yang saya gunakan, mulai dari kereta api dari Jakarta hingga cidomo dari Mataram.
Gili Trawangan adalah satu dari tiga gili (pulau) yang terletak selepas barat laut Pulau Lombok. Dua yang lain adalah Gili Air dan Gili Meno yang lebih kalem dan tidak banyak terekspos. Di tengah popularitasnya, Gili Trawangan tumbuh dengan pesat. Pada kunjungan saya ke tempat ini satu dekade lampau, memang belum banyak wisatawan berkunjung. Namun sinyal-sinyal pertumbuhan sudah nampak. Gili Trawangan akan segera lepas landas.
Berjalanlah kami berdua menyusuri putih pasir pantai menuju barisan guesthouse yang sebagian besar masih baru. Pilihan jatuh kepada sebuah penginapan yang mempunyai barisan pondok-pondok terpisah yang tersudut di tepi pantai dengan tarif pas di kantong. Entah hotel apa namanya, saya sudah lupa.
Sudah barang tentu kami lelah usai melakukan perjalanan panjang semenjak siang kemarin, namun deru ringan ombak membuat saya melupakan rasa lelah dan memilih untuk berkeliling pulau. Nyaris tidak ada turis Indonesia di sana, hampir semuanya adalah wisatawan asing yang berkantong serba cekak.
Inilah Gili Trawangan dalam kunjungan pertama dekade yang lalu, sesuai yang saya duga, sekarang pulau ini menjadi salah satu destinasi populer di Pulau Lombok. Terlebih dengan menjamurnya internet dan media sosial, tiga nusa mungil di seberang Pulau Lombok ini pun tumbuh kencang. Dari sekedar wisata alternatif menjadi sebuah tujuan yang mainstream.