Pada mulanya adalah hasrat. Kemudian tekad dan tanya harga. Entah bagaimana jadinya, sepeda bertiang oranye ini akhirnya sampai di genggaman saya. Jadilah Dito dan saya mengawali pagi hari di Gili Trawangan dengan bersepeda berkeliling pulau. Ya. Untuk mengitari seluruh pulau ini cukup dengan bersepeda, sekitar empat puluh lima menit saja.
Tas kamera saya tampung di keranjang muka. Perjalanan mengitari pulau Gili Trawangan dengan sepeda pun dimulai. Pada awalnya terasa begitu sederhana, lambat laun kesulitan pun muncul.
Masalah pertama mulai terasa ketika kami sudah agak jauh dari kampung. Jalanan yang semula berbatu kini hanya tersisa hamparan lumpur becek kecoklatan yang membenamkan ban sepeda dalam-dalam. Akibatnya selain sepeda menjadi susah untuk digenjot, lumpurnya juga terciprat ke mana-mana.
“Untung kita sudah foto tadi,” celetuk saya kepada Dito, “Kalau kita baru foto sekarang, tampang belepotan seperti ini malah bikin malu.”
Dito tertawa terbahak-bahak dan memutuskan untuk turun dan menuntun sepedanya setiap kali melewati hamparan lumpur yang terlampau lembut untuk dipijak. Namun beruntung tidak jauh kemudian, rerumputan dan semak perdu terhampar. Meskipun tidak sempurna, jalanan berumput jauh lebih mudah untuk dinavigasi daripada jalanan berlumpur kan?
Kurang dari satu jam kami sudah tiba di kampung dari arah yang berbeda. Artinya lengkap sudah satu putaran mengitari pulau utama di gugus tiga gili ini.
Seraya menuntun sepeda kembali ke pemiliknya, saya berjalan membiarkan angin laut bertiup mengeringkan keringat yang membasahi pakaian. Sialnya, angin yang sama juga mengeringkan noda-noda lumpur yang membasahi kaki. Artinya hanya satu, saya perlu mandi lagi.