Menggapai Kampung Naga

Pokoknya nama desanya Salawu. Itu saja yang saya ingat-ingat. Bermodalkan peta tradisional berukuran segede spanduk warung soto, saya mencari-cari lokasi kampung tersebut. Sudah lebih dari tiga jam saya mengemudikan mobil, ditemani Bayu, meninggalkan kota Bandung.

Saat ini kami berada di perbatasan jalan poros yang menghubungkan Garut dan Tasikmalaya. Di sekitar sinilah seharusnya Salawu berada. Pokoknya tidak jauh dari situ, pesan seorang kawan dari Garut yang berkorespondensi lewat dunia maya.

Akhirnya lokasi yang dicari-cari itu ketemu. Di sebelah kiri jalan terdapat lahan parkir luas yang kosong melompong siang itu. Di salah satu sisinya tertulis jelas, Selamat Datang di Kampung Naga.

Meskipun terletak di pinggir jalan raya provinsi, Kampung Naga terlihat seakan terlepas dari peradaban sekitarnya. Masyarakat Kampung Naga dikenal memegang teguh adat Pasundan. Apabila Rangkasbitung punya Baduy dan Sukabumi punya Ciptagelar, maka Tasikmalaya punya Kampung Naga. Yang menarik Kampung Naga seakan-akan terjebak di lorong waktu ketika wilayah Sunda memasuki masa peralihan dari peradaban Hindu menuju Islam.

“Apa yang bisa saya bantu? Anda butuh pemandu?” tanya seorang pria setengah baya menghampiri kami di lahan parkir menawarkan jasanya. Kalau tidak salah, Pak Atang namanya.

Terus terang tipikal manusia pemalas tidak mau repot seperti kami berdua lebih suka menggunakan jasa pemandu. Daripada masuk ke perkampungan tanpa didampingi penduduk lokal. Menuruni ratusan anak tangga dari batu seadanya, kami bertiga berjalan lima ratus meter menyusuri Sungai Ciwulan menuju ke arah perkampungan. Selamat datang di Kampung Naga!