Entah sudah berapa kali pembangunan ulang dilakukan. Berpapasan dengan perpindahan pusat kota dari Dayeuhkolot ke pinggir De Grote Postweg, dibangunlah Masjid Agung Bandung. Masjid di jantung kota ini berbentuk sederhana dengan atap rumbia dan struktur panggung. Di sisinya terdapat sebuah kolam kecil tempat mengambil air wudhu yang di kemudian hari menyelamatkan masjid ini dari amukan api.
Barulah ketika Bandung dipimpin R.A. Wiranatakusumah satu setengah abad silam, masjid ini ditembok dan rumbia atapnya diganti dengan genting. Ia sering menjadi saksi bisu akad nikah pasangan-pasangan baru di kota ini sejak masa tersebut. Bahkan karena seringnya, masjid ini pun dijuluki bale nyungcung.
Dibangunnya Plaza Palaguna, pusat perbelanjaan berlantai tiga, di seberang menenggelamkan kegagahan bangunan ini. Seiring dengan meriahnya pembangunan di kota Bandung, daerah Dalem Kaum pun lambat laun dipenuhi gedung-gedung megah. Masjid tua ini pun terbenam di depan Alun-Alun Kota. Lebih parah lagi ketika malam hari, halaman tersebut digunakan sebagai tempat nongkrong para pekerja seks.
Pemerintah mengambil langkah drastis pada awal tahun 2001. Alun-Alun Bandung dirapikan dan masjid ini dibangun ulang menjadi jauh lebih megah. Nama Masjid Agung diubah menjadi Masjid Raya dan satu pasang minaret setinggi delapan puluh meter berdiri menjulang mengapit bangunan utamanya.
Titimangsa
Allohuma Ya Robbuna
Nawaetu Khususon
Ieu masjid diwangguna ku para pupuhu Bandung dina tahun 1812 M.
Alhamdulillah, tahun 2001-2003 ditohagaan jeung dijembaran duei ku
Sakumna masyarakat Jawa Barat sarta dicaleceran menara dua sakembarannya,
dingaranan Masjid Raya Bandung
Bandung, 3 Rabiul Akhir 1424 H/4 Juni 2003
Hari ini saya berdiri di salah satu atap menaranya, menyaksikan hiruk pikuk kota Bandung dari atas. Bandung terlihat bagai kota cantik yang bergelut dengan kerasnya zaman.