Tidak nampak lagi runtut awan yang ada kemarin. Nampaknya hujan deras semalam suntuk telah membilas langit Ruteng menjadi bersih, biru benderang. Kabut tipis serau menggantung rendah di lembah nan jauh, mengalasi kaki dataran tinggi Manggarai Tengah yang berlekuk-lekuk apik.
Ruteng laiknya kota di atas awan. Dibangun di atas arak-arakan halimun.
Dibandingkan dengan dua kompatriotnya di Manggarai, Labuan Bajo dan Borong, pada sejatinya Ruteng punya sejarah yang agaknya lebih panjang meskipun ketiganya sama-sama merupakan ibukota kabupaten. Sebelum Manggarai terpecah menjadi tiga kabupaten, Ruteng adalah ibukota kodratif bagi seluruh Manggarai.
Lomar dan saya bangun pagi-pagi. Berkemas dan menyantap sarapan seadanya, dua potong roti tawar dan sebutir telur rebus, di susteran Santa Maria Berdukacita yang menampung kami malam tadi. Ingin kami segera bergegas untuk menjelajah setiap sudut Ruteng, namun entah mengapa nuansa senyap seakan melambatkan ritme perjalanan dan meredam niatan kami.
Baru sekitar pukul delapan kami melangkah keluar. Udara di plato ini dingin, langitnya yang biru bersih dan kendaraan sesekali melintas memahat kedamaian yang berbaur dengan kesunyian.
“Ruteng adalah perkampungan yang dibesarkan oleh misionaris,” terang Suster Maria, “Misionaris Katholik masuk ke tanah ini pada tahun 1914 dan mulai membangun daerah ini.”
Ruteng tidak maju. Namun masyarakatnya hidup berkecukupan. Sebagian sudut kota ditumbuhi rerumputan di sana-sini bak jenggot yang jarang dicukur. Sementara di lain sisi gedung-gedung megah berdiri anggun berdinding putih memplak.
Tidak heran apabila Ruteng berkecukupan. Manggarai adalah tanah subur makmur. Pertanian dan perkebunan di daerah ini tumbuh dengan pesat menopang sendi-sendi perekonomian seantero kabupaten. Dari produksi beras saja, Manggarai selalu mencatatkan surplus.
Ruteng adalah jantung pemerintahan. Bagi Lomar dan saya, ia lebih daripada itu, Ruteng adalah landas pacu untuk menggapai sudut-sudut terdalam Manggarai.