Anyer tenar berkat de groete postweg, sebagai titik tolak jalan pos seribu kilometer yang dibangun oleh Wilhelm Daendels. Alhasil Anyer pun menjadi terminus ujung barat Pulau Jawa di kala itu.
Namun siapa sangka bahwa tanah ini dahulu bernama Sudimampir, alias bersedia singgah, sebuah dusun pelabuhan yang ramai dengan aktivitas perdagangan. Lantaran bencana besar letupan Gunung Krakatau, tanah ini tersapu habis dan menyisakan hamparan tanah lapang tanpa kehidupan. Barulah kala manusia kembali mendiami tanah ini, nama Sudimampir berubah menjadi Anyar, yang artinya baru.
Entah bagaimana morfologisnya, namun Anyar kemudian dikenal sebagai Anyer. Tanah sisir utara Jawa bagian barat ini selama beberapa dekade tenar sebagai destinasi pelarian akhir pekan orang Jakarta. Jika orang Jakarta mau bermain ke pantai, maka Anyer andalannya.
Siang yang panas itu untuk pertama kalinya saya menyetir bersama keluarga menuju Pantai Carita yang terpapar di sepanjang garis utara Banten. Pengalaman menyatakan bahwa pantai utara Jawa barangkali bukan lokasi favorit untuk persinggahan, selain karena ombaknya nan semenjana juga karena pantainya berbatu-batu karang hitam bopeng-bopeng. Meskipun demikian ada secercah harap-harap bahwa Anyer adalah sebuah perkecualian. Bukankah ia begitu masyhur?
Saya tidak sepenuhnya salah. Ombak di Carita memang semenjana, berdebur-debur malas dan melamun daratan sekenanya. Sementara pantainya pun pantai karang bukan pantai pasir putih. Namun satu hal yang pasti, Carita tidak buruk.
Batu-batu karangnya yang kecoklatan dihantam oleh gulungan ombak-ombak ringan, pantainya sempit dirimbuni oleh baris-baris nyiur yang bergoyang ringan dihembus oleh angin laut. Bagi kami sekeluarga kunjungan ke tempat ini sebatas perkenalan pertama dengan Anyer. Suatu saat nanti, pastilah saya akan mengeksplorasi tempat ini lebih jauh.