Maka terputuslah rantai itu. Sudah enam abad lamanya Halmahera yang besar ini harus tunduk di bawah silih ganti kuasa dua pulau kecil tetangganya, Ternate dan Tidore. Bahkan ketika republik ini merdeka pun, Halmahera sempat empat dekade berada di bawah komando Ambon sebelum akhirnya kembali berkiblat ke Ternate pada awal milenium ini.
Lima tahun yang lewat rangkaian dominasi itu dipatahkan, sedasar titah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Sofifi ditunjuk menjadi ibukota provinsi Maluku Utara menggantikan Ternate. Inilah untuk pertama kalinya dalam enam abad sejarah Halmahera, pulau terbesar di Maluku, dipercaya memegang tongkat komando.
Efeknya terasa ke mana-mana. Desa-desa pesisir yang dulu senyap kini riuh. Salah satunya adalah Kabupaten Halmahera Barat yang masih seumur jagung.
Kabupaten Halmahera Barat dimekarkan dari induknya pada dekade silam dengan Jailolo, sebuah desa di tepi pantai, sebagai ibukotanya. Jailolo tidaklah sekedar berdenyut namun ia berdentum kencang. Untuk mendapuk kebangkitannya, Festival Teluk Jailolo senantiasa digaung-gaungkan oleh pemerintah daerah dan menjadi sasaran ribuan turis setiap tahunnya.
“Di Maluku Utara, kabupaten-kabupaten tumbuh dengan cepat,” terang Rissa, “Mereka bahkan bersaing satu sama lain, salah satunya adalah gede-gedean masjid.”
Jailolo tentu bukan pemain baru. Sebelum abad ke-15, perkampungan nelayan ini mendominasi perekonomian di perairan Halmahera, jauh lebih makmur daripada dua tetangga kecilnya. Namun kedatangan Portugis dan Spanyol di dalam ekspedisi perburuan bumbu meroketkan Ternate dan Tidore dalam kemakmuran yang tiba-tiba. Pada pertengahan abad ke-16, seantero Halmahera takluk di kaki kedua kesultanan itu.
Kini sebuah masjid megah berkubah merah berdiri teguh di lapang perairan, menghadap lurus ke arah Ternate dan Tidore. Seakan mengingatkan bahwa posisi mereka sekarang sudah setara.