“Airnya hangat,” ucap Rissa sembari tertawa kecil, “Yang di tempat ibu-ibu mencuci sana airnya hangat. Kalau kakak tidak percaya coba saja ke sana.”
Saya melangkah mendekat dan merendam telapak kaki di salah satu ceruk air yang menggenangi sela-sela bebatuan. Rissa benar. Airnya memang hangat. Menurut Rissa, memang di daerah yang tidak jauh dari pantai ini terdapat mata air panas. Bukan hanya untuk mencuci saja, masyarakat setempat kerap mengandalkan mata air panas ini sebagai tempat mandi.
Hari sudah sore. Di seberang sana, Ternate dengan pegunungannya ternampak membayang di cakrawala. Terasa begitu dekat walaupun sebenarnya cukup jauh. Setiap hari entah berapa ratus kali kapal motor berbolak-balik menghubungkan kedua pulau utama di Maluku ini.
“Antara Ternate dengan Jailolo memang selalu ramai,” terang Rissa, “Sementara antara Jailolo dan Tidore tidak terlalu ramai. Karena selain lebih jauh, Tidore juga kotanya lebih sepi.”
Padahal apabila kita menilik ke era awal Penjelajahan Samudera, Jailolo adalah aliansi karib bagi Tidore, yang mana keduanya bermusuhan dengan Ternate. Jailolo di kemudian hari juga pernah bermufakat dengan Spanyol untuk menghadapi Ternate yang bersekutu dengan Portugis dalam rangkaian sengketa puluhan tahun.
Kami berdua berjalan menyusuri pantai yang berbatu-batu karang hitam, sambil sesekali saya berhenti untuk mengambil gambar. Matahari memang sudah mengambang rendah namun waktu terasa berjalan begitu lambat, sang mentari tidak tenggelam seolah-olah hanya menggantung di sana untuk waktu yang sangat lama.
Tiba di pelabuhan, saya berpamitan dengan Rissa untuk kembali ke Ternate. Di sana, Awhy sudah menunggu saya untuk menjelajah malam di kota cantik itu.