“Hewan yang sudah tua ataupun sakit akan diburu kemudian diawetkan jasadnya,” ungkap sang pemandu tanpa berkedip, kemudian melanjutkan kalimatnya, “Nantinya para pemburu diminta membayar sejumlah uang yang akan digunakan sebagai ongkos pelestarian. Jadi perburuan ini adalah bagian dari pelestarian.”
Sedari tadi saya berusaha menyimak penjelasan mbak pemandu, namun tatap tajam dan beku mata macan tutul di seberang ruangan itu berkali-kali mengalihkan fokus saya. Pada galeri ini, Rahmat Shah, seorang pengusaha Indonesia keturunan Turki, memamerkan ribuan hewan yang diburu dan diawetkan secara legal.
Semenjak masuk ruangan pertama, perasaan campur aduk sudah terasa. Dalam temaram cahaya remang-remang, saya berjalan di bawah ratusan pasang mata. Mata yang jelas bukan mata asli, melainkan beling yang ditanam di dalam jasad hewan-hewan malang yang diawetkan itu.
Saya berkunjung kemari sebagai bagian dari undangan komunitas Backpacker Medan.
Mereka mungkin adalah komunitas backpacker paling solid di Indonesia sekaligus paling subur, apabila dilihat dari ukuran tubuh anggotanya. Medan sebagai metropolitan dengan anak-anak muda yang dinamis juga mempunyai komposisi pas bagi habitat komunitas ini. Mereka hadir dari berbagai latar belakang etnis, agama, dan profesi. Suatu miniatur dari keragaman Medan.
Beberapa ruangan yang unik adalah safari night yang berupa sebuah ruangan gelap dengan koleksi mumi hewan-hewan malam. Ada pula lemari kupu-kupu yang menyimpan ratusan, atau mungkin ribuan, spesies kupu-kupu dengan berbagai warna. Salah satunya adalah, serius, spesies kupu-kupu malam.
Rahmat Shah, ayahanda aktris Raline Shah, bukan hanya senang mengoleksi hewan-hewan yang diawetkan namun juga memorabilia dari berbagai belahan dunia. Salah satunya kaos Manchester United yang spontan jadi sasaran foto bareng saya.
Kunjungan ini kami pungkas dengan foto bersama di halaman galeri.