Menilik Budaya Etnis Batak

“Mana Tortor? Mana Gordang Sambilan?” tanya Heri dengan antusias seketika usai kami masuk pelataran Museum Batak di Balige ini. Memang. Saat itu sedang panas-panasnya kasus serobot budaya oleh negeri jiran yang alih-alih menghilangkan minat justru membuat masyarakat makin penasaran dengan budaya Batak.

Batak ternyata bukan satu suku uniformal. Batak terdiri dari enam etnis, yaitu Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola, dan Mandailing. Seorang bapak pemilik lapo pernah bercanda bahwa jika saya sudah hapal enam etnis itu berarti saya sudah siap menikahi orang Batak.

Kunjungan ke Museum Batak pada siang itu membawa kami masuk dalam labirin etalase budaya salah satu etnis terbesar di Indonesia ini. Bukan hanya artefak-artefak berukuran kecil saja yang dipajang di dalam museum ini. Miniatur huta, rumah adat Batak, juga dipampang pada halaman depan bersanding dengan patung raja-raja Batak.

“Tidak ada seorang pun di sini,” celetuk saya.

“Ya, Bang,” jawab Simon, “Memang ini sedang hari biasa jadi wajar kalau sepi.”

Saya menatap keluar dari kamar kaca, terhampar persawahan menghijau dengan pemandangan Danau Toba di kejauhan. Apabila dibandingkan dengan museum-museum, Museum Batak ibarat antitesis dari museum-museum lain di Indonesia yang umumnya singup dan berdebu. Museum Batak ini ditata begitu apik dengan presentasi yang memukau.

Di antara tiga ratus etnis yang ada di Indonesia, boleh saya sebutkan Batak adalah orang-orang yang paling bangga dengan identitas kesukuannya. Meskipun mereka memiliki mental perantau namun keterikatan terhadap daerah asalnya seakan tidak dapat dihilangkan.

“Yang menarik,” kata pemandu di museum itu, “Etnis Batak sendiri baru dikenal pada abad ke-19. Sebelumnya orang Sumatera Utara menyebut dirinya etnis Karo, etnis Pakpak, etnis Simalungun, dan sebagainya. Baru sejak abad ke-19, semuanya mengakui satu identitas sebagai etnis Batak.”