Heri memacu mobil rongsok itu menembus pekatnya pagi buta. Bukit Tele namanya, sebuah tinggian di luaran Samosir, menghadap langsung ke luasan Danau Toba. Di dekapan udara pagi Samosir yang dingin berdesir, kami tiba di ceruk bukit tepat di ambang Danau Toba.
Kami mengejar matahari. Itu saja. Perkara perjalanan harus dilakukan melalui liuk-liuk tanjakan yang berbahaya di tengah kegelapan malam biarlah jadi urusan lain. Dalam benak kami hanya terngiang satu objektif, untuk mencapai ke puncak bukit sebelum matahari menampakkan dirinya.
Singkat cerita, sampailah kami di Bukit Tele hanya sesaat sebelum matahari merekah. Dengan setengah berlari, saya ditemani Heri dan Simon menapaki anak-anak tangga menara pandang. Tidak ada seorang pun di sana pada pagi itu. Hanya kami bertiga yang berlarian di tengah kegelapan naik ke atap menara.
Dari ketinggian menara inilah kami melihat kegelapan Danau Toba di bawah, sementara semburat merah muda perlahan-lahan membias dari halang perbukitan. Melebar. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Langit kemudian menyala terang kebiru-biruan, halimun menyaput barisan cemara pun perlahan terangkat mengambang ringan di awang-awang.
“Sudah begini saja,” sentak Simon memecah keheningan pagi, “Berikutnya kita kebut saja melintasi Dairi sampai ke Berastagi. Di sana bisa jelajah lebih banyak.”
Terus terang saya belum pernah mendengar apapun soal Dairi, nama yang agak terdengar alien. Satu hal yang pasti adalah perut saya keroncongan karena belum diisi sejak semalam, ditambah kehausan karena tidak kebagian minum. Jadilah kami bertiga mencari pengganjal perut, namun yang kami dapat hanyalah sebotol tuak. Apa boleh buat.