Enam tujuh pasang mata menatap kami bertiga. Sesaat setelah kami turun dari mobil dan menjejakkan kaki di sebuah lapo di selip Samosir, seisi warung hanya tertegun. Sunyi senyap di kedai kecil yang hanya diterangi cahaya redup lampu petromaks menari-nari.
“Ada nasi goreng?” tanya Simon parau memecah keheningan yang tidak nyaman itu.
“Ah, ada! Ada!” tiba-tiba salah seorang di antara mereka menyahut, kelegaan jelas-jelas tersirat dari balik suaranya, “Kami kira tadi kelen-kelen ini polisi razia malam-malam.”
Jujur saja. Kami tiada punya tampang untuk jadi polisi. Lagipula apa yang mau dirazia di lapo-lapo lapuk seperti ini selain botol-botol tuak yang sudah setengah habis?
Setidaknya kami boleh bernapas lega. Sebelumnya kami dihantui akan kesulitan untuk mencari makan malam di Pulau Samosir, apalagi kalau bukan keterlambatan kapal pemicunya. Meskipun hanya santapan nasi goreng seadanya, kami merasa itu sudah lebih dari cukup untuk memungkas hari yang panjang dan melelahkan ini.
“Malam ini kita menginap di rumah teman saya,” kata Simon, “Dia punya rumah di Samosir, mungkin kita bisa numpang tidur di gudangnya atau apa.”
Saya tidak ambil pusing. Kami hanya sebentar di sini. Sebab esok pagi-pagi buta, kami harus meluncur ke Bukit Tele untuk menyambut matahari terbit di luasan Danau Toba.