“Turun di sana. Kol itu tidak akan ke mana. Tetapi kapan lagi abang balik ke sini,” celetuk Simon sambil memarkirkan mobil kijangnya di tepi jalanan Berastagi yang ramai siang itu.
Saya pun melompat turun dari mobil, mengambil posisi tepat di bawah patung kol raksasa yang ada di episenter kota, dan berfoto. Inilah Berastagi. Di dalam makna harafiahnya, berarti gudang beras. Tempat ini dibuka pemukim Belanda pada penghujung abad sembilan belas, gelombang pedagang Tionghoa pada awal abad silam memutar perekonomian Berastagi. Batak Shua, alias Gunung Batak, mereka menyebutnya.
Memang. Berastagi terposisikan di pegunungan, tepatnya pada Dataran Tinggi Karo, tujuh puluh kilometer dari hiruk pikuk Medan metropolitan, dalam ketinggian seribu tiga ratus meter di atas permukaan air laut. Sekarang kota kecil di pegunungan ini dihuni oleh empat puluh ribu manusia yang mayoritas adalah etnis Karo.
Kunjungan ke Berastagi tidak lengkap tanpa bersinggah ke sentra buah-buahan dan sayur-mayur di kota ini. Di sinilah buah-buahan seperti markisa, manggis, dan salak dikebunkan dan kemudian dipasok ke seantero Sumatera Utara.
Langit sudah lapang terbuka ketika hujan berlalu, mendung tersibak dari angkasa meninggalkan petrikor di bauran udara dingin lembab. Mobil kembali dipacu melewati jalanan Berastagi yang seluruhnya sudah beraspal mulus. Tiba-tiba Heri meminta mobil dihentikan di depan Hotel Bukit Kubu, saya bertanya-tanya apa istimewanya hotel itu.
“Tidak ada. Cuma keren saja buat foto,” katanya santai.